Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Pilihan-pilihan hidup perempuan masih kerap ditentukan oleh pihak laki-laki, seperti keputusan untuk menikah, pilihan untuk bercerai, keinginan untuk bekerja bahkan memulai bisnis, hingga mendapatkan pendidikan.
Bahkan terkadang, keterbatasan perempuan ini semakin diperkuat lewat undang-undang yang memberikan akses dan izin untuk membelenggu pilihan-pilihan perempuan yang berkaitan dengan hidup mereka sendiri.
Seperti pembatasan pendidikan perempuan yang terjadi di Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban.
Rezim melarang perempuan untuk mendapatkan pendidikan di sekolah lanjutan hingga melarang universitas mengajarkan beberapa mata kuliah tertentu kepada perempuan.
Indonesia sendiri menempati peringkat ke-7 dunia sebagai negara dengan pernikahan anak terbanyak.
Salah satu penyebab masih maraknya pernikahan usia dini disebabkan oleh desakan orang tua yang beranggapan bahwa menikah dapat melepaskan beban finansial orang tua, serta memberikan kebanggaan pada keluarga apabila perempuan dapat menikahi laki-laki kaya.
Baca Juga: Malala Yousafzai dan Para Aktivis Serukan Urgensi Pendidikan di Acara PBB
Faktor kedua yang menyebabkan ketimpangan gender adalah kurangnya pemanfaatan platform untuk mengakses informasi dan mengembangkan jejaring yang dapat mengakomodasi kepentingan perempuan.
Tingkat literasi digital perempuan yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki berkontribusi terhadap maraknya kekerasan terhadap perempuan.