Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Sudah menjadi kewajiban orang tua manapun untuk bertanggung jawab terhadap pengurusan anak.
Tanggung jawab orangtua terhadap anak sebenarnya sudah diatur dalam undang-undang negara kita, tepatnya Undang-Undang no. 35 tahun 2014.
Isinya tentang perlindungan anak yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.
Orangtua yang dimaksud tentu saja ibu dan ayah, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang ayat pertamanya menyebutkan bahwa kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Meski ditegaskan tentang peran kedua orangtua, tetap saja kita lihat pada kenyataannya di sebagian masyarakat kita bahwa ibu memegang peranan lebih besar dalam pengasuhan anak.
Lantas, bagaimana dengan situasi di Inggris?
Pada dasarnya, tanggung jawab dan peran orangtua terhadap anak juga diatur oleh negara, dengan muatan yang tidak jauh berbeda dengan di Indonesia.
Di Inggris, sebagaimana diatur dalam Children Act 1989, sekurang-kurangnya, orangtua bertanggung jawab untuk menyediakan rumah bagi anak dan melindungi anak.
Selain itu, orangtua juga memiliki tanggung jawab untuk mendisiplinkan anak, membiayai pendidikannya, menyetujui untuk memberikannya perawatan medis jika diperlukan, memberi nama dan menyetujui jika anak tersebut ingin mengubah namanya.
Baca Juga: Cerita dari Inggris: Saat Negara Ada Bagi Pendidikan dan Perlindungan Anak
Orangtua juga bertanggung jawab untuk memberi kebebasan memeluk agama, dan membuat kesepakatan jika anak ingin pergi ke luar negeri, baik dalam waktu yang sementara atau permanen.
Jika dalam banyak hal, aspek peran orangtua terhadap anak memiliki kesamaan antara di Inggris dan Indonesia, lalu apa yang dapat kita pelajari?
Kebijakan di Inggris memberi nama tanggung jawab orangtua ini dalam suatu konsep bernama parental responsibility.
Berikut kriteria penerima parental responsibility dari pemerintah Inggris:
1. Semua ibu yang melahirkan,
2. Ayah yang menikah dengan ibu saat anak dilahirkan;
3. Ayah yang tidak menikah pada ibu yang melahirkan, tetapi terdaftar pada akta kelahiran anak; atau,
4. Pasangan yang terdaftar sebagai orangtua legal pada akta kelahiran anak.
Dengan mencantumkan peran ayah secara spesifik dalam kebijakannya, hal ini menunjukkan usaha yang lebih ketat untuk melibatkan ayah dalam konsep parental responsibility.
Dengan demikian, pemerintah Inggris berupaya agar pengasuhan anak tidak menjadi semata-mata tanggung jawab ibu.
Sebagai contoh berdasarkan pengalaman pribadi, saat pertemuan rutin guru dan orangtua, kami diberi kertas yang mesti diisi terkait apa yang telah dilakukan ayah dan ibu untuk mendukung anak-anaknya.
Sekolah mesti memastikan bahwa peran yang dilakukan ayah dan ibu ini berimbang dan tidak dilimpahkan pada salah satu pihak saja.
Hal demikian bahkan tetap berlaku jika orangtua dari anak telah berpisah.
Di Inggris, negara memang sangat berperan dalam perlindungan anak. Bahkan saking perhatiannya, Inggris menerapkan kebijakan forced adoption yang cukup kontroversial.
Baca Juga: Punya Andil Besar, Orangtua Bisa Jadi Penyebab Anak Alami Bullying
Forced adoption membolehkan pemerintah Inggris untuk mengadopsi anak jika terbukti anak tersebut menderita atau “berisiko menderita” di bawah pengasuhan orangtuanya sendiri.
Salah satu anggota parlemen Inggris, John Hemming, merupakan orang yang paling vokal menentang forced adoption ini.
Alasannya, Hemming menganggap bahwa pertama, negara tidak berhak merenggut anak begitu saja dari orangtuanya; dan kedua, hasil pengasuhan negara ini pun dianggap tidak bermutu untuk membesarkan anak hasil adopsi tersebut.
Kegelisahan Hemming cukup beralasan.
Meski dapat diperdebatkan terkait poin tentang “berisiko menderita”, tetapi hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa pemerintah Inggris benar-benar mengawasi bagaimana anak diasuh oleh orangtuanya.
Jika pengasuhan tersebut dianggap tidak memadai dan jauh dari standar, apalagi terjadi kekerasan dan penelantaran, sehingga menimbulkan penderitaan, pemerintah Inggris tidak segan-segan menjadi “orangtua” bagi anak tersebut.
Dengan adanya force adoption tersebut, maka konsep parental responsibility bukanlah kebijakan yang main-main.
Kesetaraan peran ayah dan ibu beserta tanggung jawab untuk merawat, melindungi, menyekolahkan, dan menjamin kesehatan anak merupakan hal yang mesti dijadikan “standar” dalam kehidupan bermasyarakat di Inggris, terutama pada unit terkecil bernama keluarga.
Negara memang sudah seyogianya memelihara anak-anak yang terlantar atau ditelantarkan, tetapi negara juga wajib bertindak preventif dengan memberlakukan aturan ketat bagi orangtua supaya bertanggung jawab penuh bagi anak-anaknya.
Di Indonesia, salah satu kasus yang pernah cukup menghebohkan adalah berita tentang orangtua di Kota Bekasi yang merantai anaknya sendiri karena dianggap nakal.
Kasus yang baru saja terjadi bulan Juli kemarin itu membuat orangtua anak tersebut terancam hukuman 3 tahun 6 bulan penjara.
Hukumannya sudah ada dan terhitung berat, tinggal bagaimana anak yang ditelantarkan tersebut bisa tetap bertumbuh sehat ke depannya meski harus dirawat oleh negara.
Dengan penerapan aturan yang diperketat dan peran negara yang lebih intens, semestinya masa depan anak-anak kita akan lebih terjamin. (*)