Hal itu juga bisa menjadi refleksi para ulama perempuan untuk mengenali sejumlah titik lemah dalam advokasi UU PPRT.
Halaqah Mengulik Masalah Kebangsaan
Isu lainnya yang dibahas dalam halaqah adalah masalah kebangsaan yang mulai serius.
Selain advokasi RUU PPRT, Halaqah KUPI II hari pertama juga membahas tentang masalah kebangsaan yang menjadi tantangan serius pemerintah Indonesia.
Mengenai masalah kebangsaan, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi mitra strategis untuk isu kebangsaan dan ekstremisme.
Lewat KUPI II, BPIP diharapkan mampu mendorong munculnya komunitas di Ulama Perempuan.
”Saat ini, KUPI memiliki sejumlah ulama perempuan di akar rumput hingga majelis taklim,” ujar perwakilan BPIP.
KUPI Memperkuat Prinsip Kesetaraan
Isu inklusif, perbedaan, dan kesetaraan juga dibahas dalam KUPI II.
Baca juga: Mengenal Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Gerakan Kesetaraan Gender Inisiatif R20
Hal itu disampaikan oleh perwakilan Jaringan GUSDURian Nasional, Suraji mengenai tujuan Halaqah.
”Hal lainnya yang menjadi fokus dalam halaqah saat ini adalah memperkuat prinsip kesetaraan. Di mana Indonesia, hari ini terdiri dari banyak ragam etnis,” ungkap Suraji.
“Kita juga mengecam tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah kebangsaan. Beberapa poin penting dalam dialog kebangsaan salah satunya adalah tokoh agama menjadi rujukan jalan keluar dalam masalah kebangsaan kali ini. Masalah keindonesiaan bisa disuarakan dan dikuatkan bersama-sama dengan musyawarah. Selain itu kita memperkuat fungsi tokoh agama agar selaras dengan keindonesiaan dan kebangsaan serta ideologi keindonesiaan. Sehingga, tidak ada lagi pertentangan nilai-nilai kebangsaan saat ini,” tambahnya.
Ekstrimisme adalah Domestifikasi Perempuan
Selain membahas mengenai kebangsaan, perbedaan, dan kesetaraan, KUPI II juga mencoba untuk mengangkat masalah ekstrimisme.
Zahra Amin perwakilan dari Mubadalah.id, mengungkapkan bahwa masalah ekstrimisme agama merupakan masalah domestifikasi perempuan.
Di mana perempuan 'dipaksa' untuk melakukan pekerjaan rumah dan tidak boleh berada di sektor publik dengan alasan agama.
“Kami membicarakan peran perempuan dalam pencegahan ekstremisme. Bahwa perempuan tidak hanya selalu menjadi korban atau pelaku, tapi juga menjadi agen pencegahan. Hal ini perlu ada kolaborasi dari semua pihak. Domestifikasi perempuan adalah bibit-bibit ekstremisme yang menghalangi peran perempuan di ruang publik,” ujar Zahra Amin. (*)