KUPI II Hari Pertama Bahas Isu Kesetaraan, RUU PPRT, dan Ekstrimisme Lewat Halaqoh

Aulia Firafiroh - Jumat, 25 November 2022
KUPI II Hari Pertama
KUPI II Hari Pertama dok. KUPI II

Parapuan.co- Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II resmi dimulai hari ini (24/11/2022) kemarin, di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri Jepara.

Kongres diawali dengan Halaqah Kebangsaan yang berlangsung secara pararel di tiga kelas berbeda pada pagi hari.

Sedangkan acara pembukaannya dimulai pada malam hari dan dihadiri oleh beberapa pejabat negara di antaranya Ida Fauziyah (Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia) dan Abdul Halim Iskandar (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi).

Dalam agenda hari ini, terdapat 3 halaqoh dengan berbagai tema. Yakni, “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Merawat dan Mengokohkan Persatuan Bangsa”, “Temu Tokoh Agama dalam Meneguhkan Peran Ulama Perempuan untuk Memperkuat Kebangsaan” dan “Merumuskan Strategi Bersama untuk Percepatan Pengesahan RUU PPRT”.

Tujuan Halaqah di KUPI

Direktur Fahmina Institute sekaligus penyelenggara KUPI II, Rosidin menyatakan, diselenggarakannya halaqah sebelum digelar pembukaan bertujuan untuk menangkap proses yang menjadi kelemahan dalam advokasi yang dilakukan ulama perempuan.

”Merefleksi 5 tahun ke belakang paska pelaksanaan KUPI I di Cirebon, KUPI berhasil mendorong disahkannya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan peningkatan usia perkawinan anak,” ungkap Rosidin.

Dalam Halaqah tersebut, KUPI juga mengundang narasumber dari BPIP, MPR dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).

Selain itu, Rosidin juga merefleksikan advokasi PPRT yang sudah lama dilakukan sejak 2004, namun hingga saat ini belum disahkan.

Baca juga: KUPI Bersama Para Ulama Perempuan Indonesia Dorong Pengesahan RUU PPRT

Hal itu juga bisa menjadi refleksi para ulama perempuan untuk mengenali sejumlah titik lemah dalam advokasi UU PPRT.

Halaqah Mengulik Masalah Kebangsaan

Isu lainnya yang dibahas dalam halaqah adalah masalah kebangsaan yang mulai serius.

Selain advokasi RUU PPRT, Halaqah KUPI II hari pertama juga membahas tentang masalah kebangsaan yang menjadi tantangan serius pemerintah Indonesia.

Mengenai masalah kebangsaan, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menjadi mitra strategis untuk isu kebangsaan dan ekstremisme.

Lewat KUPI II, BPIP diharapkan mampu mendorong munculnya komunitas di Ulama Perempuan.

”Saat ini, KUPI memiliki sejumlah ulama perempuan di akar rumput hingga majelis taklim,” ujar perwakilan BPIP.

KUPI Memperkuat Prinsip Kesetaraan

Isu inklusif, perbedaan, dan kesetaraan juga dibahas dalam KUPI II.

Baca juga: Mengenal Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Gerakan Kesetaraan Gender Inisiatif R20

Hal itu disampaikan oleh perwakilan Jaringan GUSDURian Nasional, Suraji mengenai tujuan Halaqah.

”Hal lainnya yang menjadi fokus dalam halaqah saat ini adalah memperkuat prinsip kesetaraan. Di mana Indonesia, hari ini terdiri dari banyak ragam etnis,” ungkap Suraji.

“Kita juga mengecam tindak kekerasan dalam menyelesaikan masalah kebangsaan. Beberapa poin penting dalam dialog kebangsaan salah satunya adalah tokoh agama menjadi rujukan jalan keluar dalam masalah kebangsaan kali ini. Masalah keindonesiaan bisa disuarakan dan dikuatkan bersama-sama dengan musyawarah. Selain itu kita memperkuat fungsi tokoh agama agar selaras dengan keindonesiaan dan kebangsaan serta ideologi keindonesiaan. Sehingga, tidak ada lagi pertentangan nilai-nilai kebangsaan saat ini,” tambahnya.

Ekstrimisme adalah Domestifikasi Perempuan

Selain membahas mengenai kebangsaan, perbedaan, dan kesetaraan, KUPI II juga mencoba untuk mengangkat masalah ekstrimisme.

Zahra Amin perwakilan dari Mubadalah.id, mengungkapkan bahwa masalah ekstrimisme agama merupakan masalah domestifikasi perempuan.

Di mana perempuan 'dipaksa' untuk melakukan pekerjaan rumah dan tidak boleh berada di sektor publik dengan alasan agama.

“Kami membicarakan peran perempuan dalam pencegahan ekstremisme. Bahwa perempuan tidak hanya selalu menjadi korban atau pelaku, tapi juga menjadi agen pencegahan. Hal ini perlu ada kolaborasi dari semua pihak. Domestifikasi perempuan adalah bibit-bibit ekstremisme yang menghalangi peran perempuan di ruang publik,” ujar Zahra Amin. (*)

Penulis:
Editor: Aulia Firafiroh


REKOMENDASI HARI INI

Peran Perempuan Minim, DPR Refleksi Pemilihan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK 2024-2029