Parapuan.co - Data Kementerian Kesehatan tahun 2021 menyebutkan bahwa 20 persen dari total masyarakat Indonesia mengalami potensi masalah kesehatan mental.
Tingginya angka tersebut berbanding terblik dengan tingkat kesadaran masyarakat akan kesehatan mental.
Berdasarkan rilis yang PARAPUAN terima dari Traveloka pada 2 Desember, banyak kasus terkait kesehatan mental.
Data dari WHO juga menyebutkan bahwa separuh dari gangguan mental bermula pada umur 14 tahun, namun banyak kasus tidak terdeteksi dan tanpa tindakan.
Ada banyak faktor yang memicu keseimbangan kesehatan mental, termasuk pekerjaan, pendidikan, masalah keluarga, dan kehidupan sosial.
Pada 2019, WHO juga mencatat sebanyak hampir satu miliar penduduk dunia mengalami gangguan kesehatan mental.
Angka tersebut meningkat signifikan pada masa pandemi Covid-19 lho, Kawan Puan.
Di Indonesia, penelitian Universitas Indonesia tahun 2021 menemukan bahwa mayoritas remaja dan dewasa muda berusia 16 -24 tahun memasuki periode kritis kesehatan mental.
Masih dari penelitian serupa, hampir 96 persen remaja dan dewasa muda mengalami gejala kecemasan (anxiety) dan 88 persen di antaranya mengalami gejala depresi.
Baca Juga: Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental Generasi Muda, Masalah Kesehatan Jiwa yang Kompleks
Berpengaruh ke Kesehatan Fisik
Ketua dan founder AKAR, dr. Fransisca Handy menyebutkan bahwa emosi yang sangat kuat dapat membuat seseorang mengalami keluhan fisik.
Keluhan fisik terkait kesehatan mental bisa ditangani dengan pengelolaan emosi yang baik. Sayangnya, cara pengelolaan stress yang sehat belum banyak diketahui masyarakat, khususnya anak muda.
Padahal jika tidak ditangani dengan tepat, kualitas hidup seseorang bisa terpengaruh.
Oleh karena itu, Traveloka bekerja sama dengan Asosiasi Kesehatan Remaja Indonesia atau AKAR.
Sebagai informasi AKAR merupakan organisasi yang berfokus pada kesehatan mental remaja usia 10 sampai 24 tahun.
Shirley Lesmana, Chief Marketing Officer Traveloka, mengatakan bahwa “Peran kolaboratif Traveloka bersama AKAR akan memperkuat edukasi mengenai pentingnya kesadaran untuk menjaga kesehatan mental, serta memberikan dukungan berbasis komunitas melalui jaringan layanan dan teknologi yang dapat diakses, terjangkau, dan berkualitas.”
dr. Fransisca kemudian menambahkan bahwa kemampuan regulasi emosi yang sehat, pengelolaan stress, mengenal dan menghargai diri sendiri menjadi upaya menjaga kesehatan jiwa anak muda dan kepada masyarakat pada umum.
Baca Juga: Mengenal Displaced Anger dan Penyebabnya, Ketika Seseorang Melampiaskan Rasa Marah ke Orang Lain
Berhenti Sejenak
Tekanan dan tuntutan dalam hidup yang mungkin menimbulkan burn out, kondisi di mana seseorang merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional, harus diatasi.
Traveloka yang berkolaborasi dengan AKAR Indonesia dalam bentuk donasi siap mendukung terlaksananya kegiatan-kegiatan empowerment untuk remaja Indonesia melalui program Youth Akar Indonesia.
Fransisca lebih lanjut mengatakan bahwa penting bagi kita berhenti sejenak, memberikan waktu bagi diri untuk mengenal dan mencintai diri sendiri sangat penting dilakukan.
Kegiatan-kegiatan seperti mencari pengalaman baru melalui traveling maupun eksplorasi hal-hal baru melalui aktivitas liburan dan berwisata dapat menjadi salah satu upaya mengenal dan mencintai diri yang baik.
Bahkan penelitian tahun 2020 oleh jurnal Nature menyebutkan orang yang melihat pemandangan yang berubah-ubah setiap hari, cenderung lebih bahagia.
Peningkatan kesadaran akan pentingnya memberi ruang pada diri untuk rehat sejenak menjadi dasar kolaborasi Traveloka dengan AKAR dalam menyikapi masalah kesehatan mental merupakan salah satu contoh kepedulian sektor swasta terhadap isu-isu sosial di masyarakat.
“Berawal dari rasa empati, Traveloka mengambil langkah untuk berperan aktif dalam mengupayakan tercapainya generasi yang tumbuh sehat dengan kesehatan mental yang baik.
Prinsip kami, gaya hidup yang paling baik adalah yang seimbang, yang tak hanya baik untuk raga namun juga jiwa. Berpedoman pada prinsip ‘Life, Your Way’, kami mengajak para pengguna setia Traveloka untuk dapat terus menikmati hidup sesuai dengan pilihan mereka dan di saat yang sama mencapai keseimbangan kesehatan mental,” tutup Shirley.
(*)
Baca Juga: Hari AIDS Sedunia, Benarkah HIV Menyebabkan Gangguan Mental?