Parapuan.co - Komnas Perempuan menyesalkan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh DPR pada hari ini, Selasa, (6/12/2022), karena dinilai terburu-buru.
Komnas Perempuan juga sebenarnya mengharapkan penundaan pengesahan RKUHP agar ada ruang untuk memberikan saran serta masukan terkait pasal-pasal di dalamnya.
Penundaan pengesahan diharapkan agar masih ada ruang dan waktu untuk memberikan saran dan masukan terkait pasal-pasal di dalamnya.
Pasalnya, Komnas Perempuan khawatir bahwa pasal-pasal di dalam RKUHP ini masih berpotensi melanggengkan kekerasan terhadap perempuan ke depannya.
"Kami menyesalkan pengesahan ini. Kami mengharapkan ada proses penundaan sehingga ruang untuk memberikan saran dan masukan terkait pasal-pasal yang masih dinilai berpotensi melanggengkan kekerasan terhadap perempuan atau menjadikan perempuan nanti lebih rentan untuk dikriminalkan didiskusikan lebih intens," ucap Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan saat dihubungi PARAPUAN, Selasa, (6/12/2022).
Selain itu, Komnas Perempuan juga mengharapkan penundaan terhadap pengesahan RKUHP agar poin-poin yang berkaitan dengan hak hidup, kebebasan berekspresi bisa didiskusikan lebih intens.
"Tapi pemerintah dan DPR sepertinya memutuskan ini lebih cepat," ucapnya.
Komnas Perempuan menjelaskan bahwa sebenarnya sudah ada saran dan rekomendasi dari mereka yang diadopsi ke dalam pasal-pasal di RKUHP.
Salah satu contohnya adalah tentang tindak pidana perkosaan yang dimasukkan ke dalam bab tindak pidana terhadap tubuh.
Baca Juga: RKUHP Disahkan, Simak Pasal Bermasalah yang Mengancam Perempuan
Kemudian juga saran dan rekomendasi dari Komnas Perempuan terkait perluasan makna perkosaan.
Komnas Perempuan juga senang ada pasal jembatan di dalamnya yang menghubungkan UUTPKS dengan KUHP.
Bukan cuma itu, Komnas Perempuan pun mengapresiasi pasal terkait aborsi atau pengguguran kandungan yang bukan cuman oleh korban perkosaan tapi juga korban kekerasan seksual yang mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan.
Siti Aminah juga menyebut perihal batas waktu pengguguran kandungan yang jadi 14 minggu, dimana awalnya hanya dibatasi hingga maksimal 40 hari saja.
"Kemudian juga masalah pengguguran kandungan itu juga batas waktu (ditambah) dan itu tidak hanya untuk korban perkosaan tetapi untuk tindak pidana kekerasan lain yang mengakibatkan kehamilan juga," ucap Siti Amina.
Meski begitu, menurut Siti Aminah masih ada beberapa saran dan rekomendasi dari Komnas Perempuan yang belum masuk ke pasal di RKUHP ini.
Contohnya adalah pasal tindak perzinaan yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan seksual. Selain itu juga tentang co-habitasi dan kontrasepsi.
"Namun yang belum diadopsi misalnya konteks masih potensinya perempuan mengalami kriminalisasi di tindak pidana perzinaan, co-habitasi, itu juga yang tidak kalah penting adalah kontrasepsi yang harus dilakukan pejabat atau lembaga berwenang," ucap Siti Amina.
Siti Amina mengungkapkan bahwa Komnas Perempuan sebenarnya mengusulkan relawan ini yang kompeten untuk memberikan penyuluhan terkait kesehatan reproduksi itu dilindungi. Namun itu belum masuk dalam pasal RKUHP.
Baca Juga: Aborsi Aman untuk Korban Perkosaan, Legal di UU, Miskin Implementasi
(*)