Menurutnya, ketentuan tersebut berkaitan dengan etika Jawa.
"Sebenarnya, itu soal etika Jawa. Di mana karya agung batik dengan motif parang itu diakui sebagai motif paling tua di Indonesia khususnya Jawa," kata Tundjung.
Diketahui, batik motif parang telah ada sejak tahun 1600 dan ini diakui oleh kalangan kerajaan.
Selain itu, motif parang juga menjadi simbol identitas busana raja dan keluarganya yang membedakan dengan kalangan masyarakat biasa.
"Jadi dalam tata peragulan di Jawa etika penggunaan simbol melalui busana itu dipakai konsep trep (bahasa Indonesianya pas/sesuai). Karena, motif parang itu dulunya memang simbolik dengan raja dan keluarga raja," jelas dia.
"Sehingga dalam konteks etika Jawa itu sebaiknya awam tidak menggunakan motif itu jika dia bukan raja atau keluarga raja," sambung Tundjung.
Hal ini diperkuat dengan adanya mitos buruk terkait pemakaian motif parang di acara pernikahan.
Meskipun, mitos tersebut tak sejalan dengan filosofi motif parang itu sendiri.
"Lagipula ada mitos di Jawa apabila di dalam pernikahan seseorang memakai motif parang dalam acara pernikahan maka akan mendatangkan kesialan. Walaupun mitos itu berbanding terbalik dengan filosofi motif parang," tambah dia.
Lebih lanjut, Tundjung menjelaskan mengenai makna dari batik motif parang.
Tundjung mangatakan, motif parang berasal dari kata pereng yang bermakna lereng atau tebing.
Motif parang ini menggambarkan garis menurun dari tinggi ke rendah secara diagonal dan berkesinambungan.
Polanya menggambarkan ketangkasan dan kewaspadaan. Ada beberapa motif parang yang dinilai sakral, misalnya Parang Barong yang diciptakan oleh Sultan Agung.
"Intinya, pelarangan penggunaan batik motif parang dalam pernikahan itu menurut saya soal etika Jawa yang harus dipahami oleh masyarakat modern. Ini agar keagungan nilai batik sebagai warisan budaya tak benda tetap lestari," tutup Tundjung.
Baca Juga: Ditanya Soal Calon Mantu, Begini Kata Jokowi Soal Sosok Erina Gudono
(*)