KBAP mencakup pedoman seluruh rangkaian pemeriksaan, dari persiapan, pengumpulan data dan analisis, penulisan laporan, dan penyampaian keterangan di sidang sehingga sehingga dapat menjadi panduan yang utuh bagi psikiater dalam melakukan layanan psikiatri forensik.
KBAP tidak hanya menguraikan apa saja yang perlu dilakukan oleh psikiater, tetapi juga memberikan gambaran kepada pihak penegak hukum mengenai hal-hal yang perlu ditelaah dan dipertimbangkan dalam kasus hukum yang melibatkan ODGJ/ODMK.
Pedoman KBAP telah dilatihkan pada psikiater secara daring melalui platform https://www.psikfor.id.
Pada akhir pelatihan, modul ini terbukti membantu psikiater dalam mengorganisasi pemeriksaan, mempertajam analisis, dan menjaga objektivitas mereka.
"Mereka juga lebih mampu menelaah faktor-faktor yang memengaruhi kondisi psikologis ODGJ/ODMK dan membutuhkan perhatian khusus dari pihak yang berwenang.
"Hadirnya pedoman dan pelatihan KBAP diharapkan menjadi sebuah langkah kecil yang berdampak besar dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak ODGJ/ODMK, khususnya yang berhadapan dengan hukum,” lanjutnya.
Sementara itu, Fajri Nursyamsi SH, MH. Direktur Advokasi dan Jaringan di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) pada kesempatan yang sama menyampaikan, kondisi kejiwaan seorang tersangka tindak pidana menjadi salah satu pertimbangan dalam melanjutkan proses pemeriksaan, tetapi kondisi itu tidak serta merta menjadikan tersangka dapat dibebaskan dari hukuman.
Penilaian harus dilakukan kasus per kasus dan orang per orang, tidak dapat digeneralisasi.
“Aparat penegak hukum perlu melakukan pembuktian atas kondisi kejiwaan tersangka untuk dua hal, yaitu pertama, kondisi pelaku ketika terjadi tindak pidana untuk memastikan apakah pelaku dapat mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak.
“Kedua, kondisi pada saat pemeriksaan untuk memastikan tersangka siap diperiksa dan menentukan dukungan apa yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum agar proses pemeriksaan dapat berjalan dengan baik, dan infromasi yang disampaikan oleh tersangka dapat dipahami dengan baik oleh aparat penegak hukum,” kata Fajri.
“Dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP sudah diatur perihal dasar pemaaf yang dapat dimaknai bahwa jika seseorang mengalami gangguan kejiwaan pada saat melakukan tindak pidana, sehingga tidak dapat bertanggungjawab atas tindakannya itu, maka tidak dipidana. Lalu pada Pasal 44 ayat (2) diatur bahwa hakim dapat memerintahkan pemberian pengobatan kepada orang tersebut.
"Untuk sampai kepada kesimpulan bahwa seseorang mengalami gangguan kejiwaan ketika melakukan tindak pidana tidak dapat hanya diterka atau dinilai oleh pihak awam, melainkan harus melalui pemeriksaan ahli yang dilakukan berdasarkan prosedur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa Untuk Kepentingan Penegakan Hukum.
"Penilaian personal oleh ahli terkait dengan kondisi kejiwaan tersangka atau terdakwa itu juga dapat dijadikan dasar untuk aparat penegak hukum memberikan dukungan layanan atau fasilitas untuk memperlancar proses pemeriksaan terhadap seseorangan dengan disabilitas mental yang sudah diatur pula dalam PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan,” tutupnya.
Baca Juga: Inspiratif! Begini Aksi Prisia Nasution Selamatkan Orang dengan Gangguan Jiwa di Jalanan
(*)