Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Perkembangan teknologi tentu memiliki berbagai dampak, yang positif maupun negatif. Keduanya bisa muncul secara bersamaan.
Tidak ada teknologi yang hanya baik. Tidak ada juga teknologi yang buruk saja.
Mari kita dalami salah satu teknologi, yaitu teknologi telepon seluler, yang pertama kali masuk ke Indonesia antara tahun 1985 hingga 1992.
Pada masa itu, telepon seluler masih dimiliki orang tertentu yang cenderung menengah ke atas.
Ukurannya pun cukup besar, sehingga sukar digunakan oleh anak.
Memasuki tahun 2010-an, teknologi telepon pintar atau smartphone berkembang pesat.
Harga menjadi cukup terjangkau, sehingga penyebarannya meluas ke berbagai kalangan masyarakat.
Baca Juga: Catat! Ini 4 Tips Membangun Kebiasaan Digital yang Sehat untuk Anak
Ukuran menjadi semakin kecil dan teknologi layar sentuh kian canggih, sehingga smartphone pun aksesibel bagi anak-anak.
Smartphone tidak lagi sekadar digunakan untuk berkomunikasi seperti halnya telepon dalam arti yang konvensional.
Ia juga mampu memuat segala informasi, hiburan, dan fasilitas lainnya, seperti aplikasi transportasi, kalkulasi gizi, hingga pengingat harian.
Anak-anak yang sejak lahir telah mengenal gawai semacam ini digolongkan sebagai Generasi Alpha dengan rentang kelahiran antara tahun 2010 awal hingga 2020-an.
Gen. Alpha sudah terbiasa mengakses YouTube sendiri sejak balita. Bahkan beberapa dari mereka sudah diberikan gawai sejak usia satu tahun!
Baca Juga: Ahli Ungkap 5 Cara Gen Alfa Menciptakan Tren Dunia Kerja di Masa Depan
Plus Minus Gadget untuk Balita
Peran orangtua di sini sangat berpengaruh, Kawan Puan.
Selain anak mendapatkan contoh dari orangtuanya yang gemar bermain gawai, beberapa juga dibuatkan akun media sosial oleh orangtuanya sejak bayi (LaMotte, 2019).
Survei yang dilakukan oleh lembaga Childwise menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2018, mayoritas anak berusia 3 dan 4 tahun di Inggris sudah diberikan gawai oleh orangtuanya.
Tingginya durasi dalam memandangi layar (screen time) ini bukannya tanpa pengaruh.
Anak-anak Gen Alpha cenderung memiliki masalah mata dan sukar fokus akibat terlalu sering mengakses gawai dan bergonta-ganti konten secara ekstrem.
Namun di sisi lain, penggunaan gawai sejak dini juga membuat anak-anak Gen. Alpha lebih cepat dalam mempelajari segala sesuatu.
Bagi para orangtua dari Gen Alpha, tentu tidak kaget lagi jika menemukan anak-anak kita tiba-tiba bisa berbahasa asing, tahu teknik memasak tertentu, hingga membetulkan mainan dengan bermodalkan pengetahuan via YouTube.
Meski memiliki dampak positif, kita sebagai orangtua tetap harus mengawasi penggunaan gawai pada anak.
Baca Juga: Ini yang Perlu Orang Tua Perhatikan Terkait Pengasuhan Anak dan Penggunan Gadget
Bentuk Pengawasan Orangtua di Inggris
Sependek pengamatan saya selama tinggal di Inggris, gawai memang biasa diperkenalkan pada anak sejak dini, bahkan mulai balita.
Pada usia sekolah dasar, sudah lumrah bahwa mereka sudah memiliki smartphone sendiri-sendiri.
Hanya saja, setiap orangtua ini umumnya sudah memasang parental control yang membuat anak tidak bisa mengakses sembarang situs dan penggunaannya bisa dicek oleh orangtua secara berkala.
Hal demikian bisa dipahami sebagai ketidakmungkinan orangtua masa kini untuk menolak penggunaan gawai bagi anak-anaknya.
Gawai merupakan teknologi yang tidak bisa ditolak dan mesti diikuti sebagai bagian dari perubahan zaman.
Hanya saja, penggunaannya perlu dikontrol secara ketat supaya anak-anak tidak terpengaruh oleh hal-hal yang belum boleh diakses pada usianya.
Lantas, pada usia berapa anak-anak sudah diperkenankan oleh orangtuanya untuk mempunyai akun media sosial?
Rata-rata, dalam pengamatan sederhana yang saya lakukan, mereka baru baru diperbolehkan memiliki akun media sosial saat menginjak usia 13 tahun atau usia sekolah menengah.
Artinya, agak jarang kita menemukan di Inggris, anak-anak sudah dibuatkan akun media sosial sejak kecil oleh orangtuanya.
Selain itu, dialog dan pendampingan secara intens juga biasa dilakukan oleh orangtua di sekitar saya dalam hal konten-konten yang ada di gawai.
Baca Juga: Parental Responsibility dan Kesetaraan Peran Ibu Ayah di Inggris
Kita di Indonesia juga Bisa!
Tentu hal ini tidak bisa digeneralisasi, tetapi beberapa teman di Indonesia yang sudah menjadi orangtua bagi Gen. Alpha, seringkali memberikan gawai tidak dalam motif edukasi, melainkan lebih pada mengalihkan perhatian mereka supaya “diam”.
Akibatnya, screen time cenderung tidak dibatasi dan dampaknya menjadi kurang baik pada anak.
Peminjaman atau pemberian gadget ini juga kerap tidak disertai dengan dialog dan pendampingan yang memadai, sehingga anak dibiarkan berselancar sendirian, bahkan tanpa parental control.
Ada masanya para orangtua, terutama yang memiliki anak yang termasuk pada generasi Z (Gen. Z, generasi sebelum Alpha) tidak langsung memberikan gawai karena khawatir anaknya jadi kehilangan sentuhan dengan dunia fisik.
Orangtua Gen. Alpha tidak bisa persis melakukan hal yang sama, karena anak-anak melihat orangtuanya bermain gawai setiap saat dan mereka langsung tertarik sejak awal.
Persentuhan Gen. Alpha dengan teknologi digital sejak dini merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan.
Hal yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah memberikan batasan, mengawasinya, dan senantiasa mengajak diskusi atas hal-hal yang diakses oleh anak pada gawai.
Jika hal demikian bisa dilakukan oleh para orangtua, teknologi digital tidak akan bersifat destruktif, melainkan produktif. (*)