Menurut Ema, tindakan yang dilakukan oknum dosen termasuk bentuk korupsi di mana mereka menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan berupa uang atau barang.
Kekuasaannya dalam hal ini adalah meloloskan skripsi mahasiswa, memberikan nilai tinggi, dan sebagainya.
Sementara keuntungannya, yaitu mereka bisa melakukan kejahatan seksual terhadap mahasiswinya sebagai 'alat tukar' untuk nilai dan kelulusan yang diberikan.
"Dalam kasus gratifikasi seks, perempuan dipersiapkan untuk melayani meski perempuan di sini tidak mempunyai kepentingan secara langsung," terang Ema Husain.
Lantas bagaimana solusinya jika sextortion terjadi di lingkungan pendidikan? Ema menyarankan agar perguruan tinggi membuat aturan internal yang jelas.
Terutama untuk mengatur hubungan antara dosen, peneliti, dan mahasiswa, sehingga peluang terjadinya kekerasan seksual yang mengarah pada sextortion dapat diminimalkan.
Misalnya, mahasiswa dan dosen harus melakukan bimbingan skripsi di ruang terbuka, pada jam kerja, dan di lingkungan kampus.
Lebih lanjut, Ema Husain menyinggung bahwa korupsi merupakan salah satu pintu masuk terjadinya kejahatan, termasuk kejahatan seksual di mana perempuan berpotensi besar menjadi korban.
Korupsi dan kekerasan seksual adalah dua fakta kejahatan yang sangat berbahaya, apalagi jika keduanya dilakukan secara bersamaan.
Maka itu, penting untuk mengkombinasikan antara penerapan Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan seksual dengan tindak pidana korupsi untuk menjerat pelaku sextortion.
Baca Juga: Ini Kata Nadiem Makarim tentang Pentingnya Melawan Kekerasan Seksual di Kampus
(*)