Parapuan.co - Kawan Puan mungkin saja baru mendengar istilah sextortion yang belakangan sedang ramai diperbincangkan.
Sextortion merupakan gabungan dari kata sex (seks) dan exortion (pemerasan), yang merujuk pada alat penyuapan atau fasilitas gratifikasi dalam kasus korupsi.
Dalam hal ini, seringkali korbannya adalah perempuan, yang mana dijadikan alat gratifikasi untuk penguasa agar kepentingan yang dimiliki berjalan lancar.
Kendati demikian, ternyata sextortion tak hanya terjadi dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh penguasa atau pemerintah.
Seperti dibahas dalam diskusi publik bertajuk Keterkaitan antara Hubungan/Eksploitasi Seksual, Konflik Kepentingan, dan Tindakan Korupsi yang dihadiri PARAPUAN pada Kamis (12/1/2023), sextortion bahkan banyak terjadi di sekitar kita.
Tak terkecuali di lingkungan pendidikan seperti kampus-kampus, yang mana mahasiswi menjadi korban dan mengalami sextortion.
Diceritakan Ema Husain, aktivis komunitas Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) yang menyebutkan soal kasus sextortion pernah terjadi di sebuah perguruan tinggi di Sulawesi Selatan sekitar bulan Juni 2022 lalu.
Kala itu, ada seorang mahasiswi yang mengaku menjadi korban kasus pelecehan oknum dosen di UNM (Universitas Negeri Makassar).
Tak hanya seorang, sejumlah mahasiswi ikut angkat bicara bahwa mereka mengalami kejahatan seksual yang sama di kampus tersebut.
Baca Juga: Kasus Kekerasan Seksual di Kampus Masih Tinggi, Rektor UGM Jelaskan Langkah Penanganan
Menurut Ema, tindakan yang dilakukan oknum dosen termasuk bentuk korupsi di mana mereka menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan berupa uang atau barang.
Kekuasaannya dalam hal ini adalah meloloskan skripsi mahasiswa, memberikan nilai tinggi, dan sebagainya.
Sementara keuntungannya, yaitu mereka bisa melakukan kejahatan seksual terhadap mahasiswinya sebagai 'alat tukar' untuk nilai dan kelulusan yang diberikan.
"Dalam kasus gratifikasi seks, perempuan dipersiapkan untuk melayani meski perempuan di sini tidak mempunyai kepentingan secara langsung," terang Ema Husain.
Lantas bagaimana solusinya jika sextortion terjadi di lingkungan pendidikan? Ema menyarankan agar perguruan tinggi membuat aturan internal yang jelas.
Terutama untuk mengatur hubungan antara dosen, peneliti, dan mahasiswa, sehingga peluang terjadinya kekerasan seksual yang mengarah pada sextortion dapat diminimalkan.
Misalnya, mahasiswa dan dosen harus melakukan bimbingan skripsi di ruang terbuka, pada jam kerja, dan di lingkungan kampus.
Lebih lanjut, Ema Husain menyinggung bahwa korupsi merupakan salah satu pintu masuk terjadinya kejahatan, termasuk kejahatan seksual di mana perempuan berpotensi besar menjadi korban.
Korupsi dan kekerasan seksual adalah dua fakta kejahatan yang sangat berbahaya, apalagi jika keduanya dilakukan secara bersamaan.
Maka itu, penting untuk mengkombinasikan antara penerapan Hukum Pidana yang berkaitan dengan kejahatan seksual dengan tindak pidana korupsi untuk menjerat pelaku sextortion.
Baca Juga: Ini Kata Nadiem Makarim tentang Pentingnya Melawan Kekerasan Seksual di Kampus
(*)