Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra putri sang hidup yang rindu pada dirinya sendiri.
Kalimat yang diambil dari puisi Kahlil Gibran dalam Sang Nabi tersebut awalnya sukar saya cerna.
Bagaimana mungkin seorang anak yang lahir dari darah dan daging orangtuanya bisa dikatakan bukan milik mereka?
Namun lama kelamaan, terutama setelah kian bergulat dengan berbagai literatur dan juga mengalami berbagai peristiwa dalam kehidupan, saya agaknya mulai paham.
Anak memang lahir melalui kita, tetapi anak memiliki hidupnya sendiri, memiliki haknya sendiri.
Baca Juga: Hari Anak Nasional 2021: Ini 16 Hak Anak yang Orangtua Perlu Tahu
Tetapi bukankah anak adalah ibarat kertas kosong yang tidak tahu apa-apa sebelum kita isi pengetahuan tentang dunia?
Pendapat semacam itulah yang kemudian bisa diperdebatkan.
Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya yang berjudul Emile, or On Education justru mengatakan bahwa anak sudah mempunyai sifat alamiah yang baik sejak lahir, sebelum justru “dirusak” oleh tangan-tangan manusia yang punya serba keinginan untuk membentuknya.
Selain itu, psikolog Swiss, Jean Piaget, bahkan menyebutkan bagaimana setiap anak telah membawa suatu perangkat kecerdasan kognitif yang terus berkembang setidaknya hingga usia 12 tahun.
Atas dasar itu, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa “perkembangan manusia ditentukan hingga usia dua belas”.
Lewat berbagai pemikiran tersebut, rasanya kita tidak bisa lagi melihat anak sebagai sosok yang tidak tahu apa-apa dan bahkan tidak memiliki hak seperti halnya orang dewasa.
Anak dalam dirinya sendiri sudah berpengetahuan dan bahkan berhak untuk diperlakukan secara setara.
Gagasan semacam itu sebenarnya sudah dituangkan dalam Konvensi Hak Anak yang dirumuskan oleh UNICEF.
Pada konvensi tersebut, terdapat 54 pasal yang poin-poin di antaranya membicarakan bagaimana anak berhak istirahat dan bermain, dilindungi dari eksploitasi, mendapat pengasuhan yang layak, dan bahkan kemerdekaan berpikir serta berkeyakinan.
Baca Juga: Cerita dari Inggris: Saat Negara Ada Bagi Pendidikan dan Perlindungan Anak
Inggris pun kurang lebih mengadopsi sebagian besar pasal dalam Konvensi Hak Anak untuk diimplementasikan di negaranya.
Beberapa hak anak yang dijamin di Inggris antara lain hak untuk memiliki pandangan sendiri, hak kebebasan berekspresi dan akses terhadap informasi, hak untuk mendapat pendidikan, waktu senggang, kebudayaan dan seni; serta dijauhkan dari eksploitasi ekonomi dan seksual.
Dalam pengamatan keseharian selama saya berada di Inggris dan berbincang dengan sejumlah kawan yang telah mempunyai anak, umumnya dari mereka memang sangat patuh terhadap peraturan mengenai hak anak dan menerapkannya dengan penuh kesadaran.
Hal yang paling krusial adalah kebiasaan para orangtua ini untuk meminta opini dari anaknya.
Tidak hanya itu, mereka juga mendengarkan serta mempertimbangkannya secara sungguh-sungguh.
Bahkan anak-anak ini, karena merasa aman dan nyaman untuk berpendapat, seringkali bisa menyampaikan opininya sendiri tanpa harus diminta.
Mungkin pendapat berikut ini bisa jadi hanya stereotip dan tidak mewakili seluruh keluarga di Indonesia.
Tetapi sependek pengamatan saya, tidak semua orangtua di negeri kita punya kesadaran untuk meminta dan mendengarkan sungguh-sungguh opini dari anak-anak mereka.
Anak-anak masih dianggap “hanya anak-anak”, dan dalam arti tertentu dianggap kurang memadai untuk menyampaikan pendapat.
Baca Juga: Terapkan Gentle Parenting, Ini Cara Ciptakan Ruang Aman bagi Anak Menurut Halimah
Pandangan semacam itu saya kira mesti dikikis dan kita mesti mulai menempatkan anak-anak secara sejajar dengan orang dewasa dalam hak-haknya.
Memang anak-anak mungkin masih terbatas dalam hal kekayaan diksi atau cara penyampaian gagasan ketimbang orang dewasa.
Hanya saja, jika kita kembali pada penelitian Piaget, hal tersebut tidak berarti anak-anak tidak memiliki jalan pikir yang kompeten.
Hal-hal seperti cara menyampaikan dan perbendaharaan bahasa, pada kenyataannya, bisa dipelajari seiring waktu.
Di Indonesia, Konvensi Hak Anak dari PBB sebenarnya telah diadopsi oleh Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990.
Selain itu, terkait hak anak juga muncul dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (UU 4/1979); Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak); serta Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).
Beberapa hak anak yang penting untuk kita ketahui dan telah dilindungi hukum antara lain, hak mendapatkan identitas, hak mendapatkan pendidikan, hak untuk bermain, hak mendapatkan perlindungan, hak mendapatkan kesamaan, dan hak-hak lainnya.
Meski demikian, perlu diakui bahwa terkait menyampaikan opini dan pendapat pada anak, tidak ada pasal yang gamblang menyebutkannya.
Itulah yang sepatutnya menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua: Tidak hanya menciptakan iklim yang kondusif bagi anak supaya berani mengeluarkan pemikirannya sendiri, melainkan juga mendorong otoritas supaya hak anak dalam berpendapat juga dilindungi oleh negara.
Untuk sampai pada kondisi ideal semacam itu, tentu kita tidak bisa berpangku tangan menunggu pemerintah menyusun undang-undang.
Hal yang bisa kita lakukan adalah memulainya dari diri kita sendiri, karena anak terus bertumbuh, terus berkembang, dan tugas kita bukan semata-mata menyuapinya dengan pengetahuan, melainkan menyimak apa yang mereka rasakan dan pikirkan. (*)