Sebagai film tentang perempuan, Dear David menjadikan laki-laki sebagai objek seksualitas, persis seperti film-film Indonesia yang menempatkan perempuan hanya sebagai "hiasan" selama ini.
Namun, jika gambar diambil dari kacamata maskulin, laki-laki atau disebut male gaze, apakah film Dear David masih dianggap pantas sebagai tayangan feminis?
Tubuh David dieksplorasi dengan penglihatan maskulin atau male gaze yang membuat karakter ini diobjektivikasi.
Mata penonton seakan-akan mengikuti mata-mata maskulin yang membiarkan kita untuk mengeksplor tubuh David dan membangun fantasi sendiri.
Gagasan male gaze tersebut membuat film Dear David terasa sangat maskulin walaupun dilihat dari mata karakter perempuan.
Keputusan Karakter yang Menjadi Polemik
Keputusan karakter David yang jatuh cinta dengan Laras, penulis blog fantasinya, menjadi polemik di media sosial.
Narasi-narasi standar ganda di film ini pun mulai ramai membanjiri media sosial.
Pasalnya, jika karakter korban, dalam kasus ini David, diganti sebagai perempuan, maka apa yang Laras lakukan sudah ramai dicap sebagai pelecehan seksual.
Terlepas dari gender ataupun standar ganda yang mungkin beberapa lapisan masyarakat temui, David dengan latar gangguan kesehatan mental dan trauma tertentu seharusnya tidak mudah untuk jatuh cinta dengan Laras, seseorang yang menjadikannya objek visual.
Film Dear David mengangkat begitu banyak isu di tengah remaja perempuan, terutama Gen Z.
Namun, dengan beban problematika sosial tersebut, isu-isu penting seperti apakah blog fantasi itu bentuk pelecehan seksual tak sepenuhnya mampu dieksplorasi.
Masih banyak pekerjaan rumah dari film Dear David yang meninggalkan kejanggalan di hati penonton.
Baca Juga: Shenina Cinnamon Diminta Bikin Kisah Fantasi untuk Perannya di Film Dear David
(*)