"AI itu kan lebih ke sesuatu yang sudah pasti, sudah teknis, atau butuh data pasti. Kalau public relation (PR) harus ada human touch dan AI enggak punya itu," ujarnya optimis.
Walau tak dimungkirinya dalam pekerjaan sehari-hari ia menggunakan teknologi AI, namun menurut Isyana keramahtamahan saat bertemu klien atau komunikasi langsung antar manusia tak bisa didapatkan dari AI.
"Memang AI bisa membantu pekerjaan, tapi enggak bisa take over semuanya. Apalagi di dunia PR itu yang penting bagaimana kita komunikasi face to face langsung dengan orang, sementara AI kan enggak punya perasaan," tambahnya.
Bagaimana Nasib Jobseeker dan Pekerja?
Lantas, bagaimana dengan nasib pencari kerja dan mereka yang sudah bekerja tapi khawatir dengan kehadiran AI?
Melansir dari BBC, pelatih karier dan pakar SDM sepakat bahwa karyawan boleh merasa cemas, tetapi harus tetap fokus pada apa yang bisa mereka kendalikan.
Alih-alih panik dengan kemungkinan kehilangan pekerjaan karena mesin, ada baiknya untuk berinvestasi agar bisa bekerja bersama teknologi.
Salah satunya Carolyn Montrose, seorang pelatih karier dan dosen di Columbia University di New York.
Pihaknya telah mengakui bahwa kecepatan inovasi dan perubahan teknologi bisa jadi menakutkan.
Baca Juga: Belajar Bahasa Secara Digital, Ini Rekomendasi Platform Berbasis Teknologi AI DME
"Adalah normal untuk merasakan kecemasan tentang dampak AI karena evolusinya berubah-ubah," terang Carolyn.
Meski begitu, menurutnya akan lebih baik apabila pekerja tidak menganggap AI sebagai ancaman, melainkan menjadikannya alat untuk memperoleh keuntungan.
Semisal seperti yang dialami Isyana Atiningmas, yang menurutnya AI bisa dimanfaatkan dalam mengoreksi press release atau urusan surat menyurat.
Bagaimana? Apakah Kawan Puan termasuk pekerja atau pencari lowongan kerja yang juga khawatir dengan keberadaan AI?
(*)