Parapuan.co - Ketersediaan lowongan kerja semakin hari rasanya semakin tidak selaras dengan jumlah para pencari pekerjaan atau jobseeker.
Pasalnya jumlah pencari kerja bisa dibilang lebih banyak dibandingkan jumlah lowongan yang tersedia.
Belum lagi belakangan ini penggunaan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) cukup populer di berbagai industri.
Salah satunya yaitu ChatGPT yang berkembang begitu cepat dan diklaim dapat melakukan tugas sebaik manusia dalam mengerjakan pekerjaan yang sama.
Apakah keberadaan teknologi AI ini akan membuat ketersediaan lowongan kerja juga berkurang?
Kekhawatian Pekerja Terhadap AI
Eliana, seorang social media manager di perusahaan startup, mengaku bahwa ada kegelisahan tersendiri ketika beberapa waktu belakangan penggunaan AI dalam pekerjaan sehari-hari semakin intens.
Misalnya untuk tugas content writing, bahkan atasannya sendiri sudah memintanya untuk menggunakan AI seperti ChatGPT demi memudahkan pekerjaannya.
"Memang sih ChatGPT tuh mempermudah banget pekerjaan, dalam hitungan menit tuh langsung jadi bikin caption tanpa harus capek-capek mikir," paparnya saat diwawancara PARAPUAN.
Baca Juga: Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Kesetaraan Gender
"Tapi yah di satu sisi jadi kayak, 'lah kerjaan gue ternyata bisa digantiin AI, terus besok-besok kalau ternyata enggak ada lowongan kerja buat posisi gue gimana yah?'," ujar Eliana tentang kegelisahannya.
Sementara itu Saras, seorang jurnalis, mengaku bahwa ia merasa teknologi AI cukup menakutkan.
"AI 'menakutkan' karena canggih sekali bisa menghasilkan artikel selengkap itu sesuai instruksi. Tapi enggak benar-benar takut akan tergantikan AI," ujarnya pada PARAPUAN.
Memang pada pekerjaan-pekerjaan tertentu, keberadaan AI generatif seperti ChatGPT cukup menakutkan bagi beberapa kalangan.
Hal ini lantaran ChatGPT juga mudah diakses dan berkembang pesat hingga dapat memenuhi banyak kebutuhan industri.
Tak heran jika sebagian besar pekerja maupun pencari kerja melaporkan kecemasan mereka tentang masa depan, dan apakah keterampilan mereka masih dibutuhkan pasar.
Kekhawatiran itu senada dengan laporan Goldman Sachs pada bulan Maret 2023 yang menyebutkan bahwa AI setara untuk menggantikan 300 juta pekerjaan.
Kendati demikian, tak semua orang merasa khawatir pekerjaannya akan tergantikan dengan AI.
Misalnya seperti Isyana Atiningmas, seorang PR profesional, yang menurutnya teknologi AI lebih berguna untuk pekerjaan yang mengandalkan teknis dan sesuatu yang pasti.
Baca Juga: Ide Personalized Perfumery Berrbasis AI dari 3 Mahasiswa Menangkan L’Oréal Brandstorm 2023
"AI itu kan lebih ke sesuatu yang sudah pasti, sudah teknis, atau butuh data pasti. Kalau public relation (PR) harus ada human touch dan AI enggak punya itu," ujarnya optimis.
Walau tak dimungkirinya dalam pekerjaan sehari-hari ia menggunakan teknologi AI, namun menurut Isyana keramahtamahan saat bertemu klien atau komunikasi langsung antar manusia tak bisa didapatkan dari AI.
"Memang AI bisa membantu pekerjaan, tapi enggak bisa take over semuanya. Apalagi di dunia PR itu yang penting bagaimana kita komunikasi face to face langsung dengan orang, sementara AI kan enggak punya perasaan," tambahnya.
Bagaimana Nasib Jobseeker dan Pekerja?
Lantas, bagaimana dengan nasib pencari kerja dan mereka yang sudah bekerja tapi khawatir dengan kehadiran AI?
Melansir dari BBC, pelatih karier dan pakar SDM sepakat bahwa karyawan boleh merasa cemas, tetapi harus tetap fokus pada apa yang bisa mereka kendalikan.
Alih-alih panik dengan kemungkinan kehilangan pekerjaan karena mesin, ada baiknya untuk berinvestasi agar bisa bekerja bersama teknologi.
Salah satunya Carolyn Montrose, seorang pelatih karier dan dosen di Columbia University di New York.
Pihaknya telah mengakui bahwa kecepatan inovasi dan perubahan teknologi bisa jadi menakutkan.
Baca Juga: Belajar Bahasa Secara Digital, Ini Rekomendasi Platform Berbasis Teknologi AI DME
"Adalah normal untuk merasakan kecemasan tentang dampak AI karena evolusinya berubah-ubah," terang Carolyn.
Meski begitu, menurutnya akan lebih baik apabila pekerja tidak menganggap AI sebagai ancaman, melainkan menjadikannya alat untuk memperoleh keuntungan.
Semisal seperti yang dialami Isyana Atiningmas, yang menurutnya AI bisa dimanfaatkan dalam mengoreksi press release atau urusan surat menyurat.
Bagaimana? Apakah Kawan Puan termasuk pekerja atau pencari lowongan kerja yang juga khawatir dengan keberadaan AI?
(*)