Tak peduli beberapa partai seperti PKS, PKB, dan PDI-P mengidentifikasi partai mereka sebagai partai kader, pada akhirnya semua partai sama saja dengan bertindak pragmatis dan hanya mengedepankan kepentingan elektoral ketimbang menjalankan fungsi rekrutmen politik dan agen edukasi politik.
Jika saja partai politik di Indonesia menjalankan fungsi rekrutmen dan edukasi politik yang layak dalam mempromosikan perempuan sejak dulu, bisa jadi kesetaraan gender dalam politik sudah berjalan ke arah yang lebih baik.
Kaderisasi dan endorsement dari partai yang berperan mengantarkan politisi perempuan seperti Theresa May menjadi Perdana Menteri Inggris, Julia Gillard sebagai Perdana Menteri Australia, dan Jacinda Arden sebagai Perdana Menteri Selandia Baru.
Walau tak dapat dipungkiri seksisme dan bias gender di negara-negara tersebut juga masih sangat tinggi, partai politik tempat mereka bernaung secara positif mendukung para perempuan untuk mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan di negaranya.
Tidak seperti partai di negeri ini yang baru kalang kabut mencari bacaleg perempuan menjelang penyelenggaraan pemilu.
Padahal partai punya waktu bertahun-tahun untuk melakukan kaderisasi terhadap calon politisi perempuan.
Ekosistem Politik yang Tidak Pernah Memihak Perempuan
Perekrutan bacaleg perempuan merupakan isu yang kompleks sebab partai politik masih enggan untuk merekrut, mengkader, dan mempromosikan politisi perempuan dengan sepenuh hati.
Tak heran jika bacaleg perempuan yang direkrut oleh partai kebanyakan berasal dari dinasti politik atau pesohor demi memudahkan partai mendapatkan angka popularitas dan elektabilitas secara instan (Cakra Wikara Indonesia, 2019).
Baca Juga: Kritisi Krisis Iklim di Indonesia, ini Pandangan Pemilih Muda soal Pemilu 2024
Akibat dari perekrutan mode instan ini tentunya merugikan perempuan. Sebab representasi perempuan menjadi kurang beragam, padahal isu dan kepentingan perempuan yang harus dikedepankan begitu banyak.
Kurangnya ragam representasi perempuan ini berpotensi membuat kepentingan perempuan yang membutuhkan perhatian khusus menjadi tidak diakomodir.
Kepentingan tersebut seperti kebutuhan perempuan disabilitas, perempuan penyintas kekerasan seksual, perempuan masyarakat adat, dan beragam representasi perempuan lainnya.
Padahal kebijakan publik yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan khusus perempuan saat ini masih tidak memadai.
Keragaman representasi perempuan di parlemen adalah salah satu ikhtiar penting, sekaligus menunjukkan itikad baik dari keseluruhan ekosistem politik, untuk mengutamakan kebijakan-kebijakan yang properempuan.
Tapi jika partai politik dan penyelenggara pemilu sejak awal selalu membatasi dan sudah menghadang keterlibatan perempuan, kebijakan publik yang ramah perempuan sampai kapan pun tidak akan pernah terpenuhi.
Kesetaraan gender akan menjadi angan-angan.
DEMOKRASI DINODAI! SEBAB SALAH SATU PIHAK (YAKNI PEREMPUAN) TIDAK DIBERIKAN KESEMPATAN YANG SAMA untuk memperjuangkan, menyuarakan, ikut terlibat, dan punya andil dalam politik. (*)
Baca Juga: Perempuan Ingin Berkompetisi di Pemilu 2024? Ini Tips dari Ridwan Kamil