Menyambut Pemilu 2024, Mengapa Begitu Susah Memilih Perempuan?

Anneila Firza Kadriyanti - Sabtu, 13 Mei 2023
Menuju pengumuman bacaleg, apakah kuota minimum representasi perempuan di parlemen akan terpenuhi?
Menuju pengumuman bacaleg, apakah kuota minimum representasi perempuan di parlemen akan terpenuhi? runeer

Parapuan.co - Masa pendaftaran bakal calon anggota legislatif (bacaleg) berakhir pada 14 Mei 2023.

Setiap partai mendeklarasikan komitmen untuk memenuhi kuota minimum representasi perempuan di parlemen sebesar 30%.

Namun pada praktiknya, partai politik dan penyelenggara pemilu tampak tak memiliki tendensi dan ambisi untuk benar-benar memberikan kuota minimal 30% untuk representasi perempuan.

Bermula dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berulah dengan menerbitkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pada mulanya, penghitungan 30% dari total bacaleg yang menghasilkan angka desimal kurang dari 0,50 akan dibulatkan ke bawah.

Ini sangat merugikan bacaleg perempuan karena jumlah mereka otomatis dikurangi.

Secara meyakinkan, penyelenggara pemilu menjadi pihak yang tidak mendukung representasi perempuan di parlemen ketika membuat aturan ini.

Aturan kemudian diubah ketika muncul tentangan dari berbagai pihak yang menolak tegas aturan yang sudah pasti merugikan perempuan untuk merepresentasikan kepentingannya di lembaga legislatif.

Partai Masih Belum Berkomitmen Mendukung Caleg Perempuan

Vibes senada turut pula ditampilkan oleh partai-partai politik, terutama oleh partai-partai besar yang pada Pemilu 2019 silam memenangkan parliamentary threshold dan melenggang ke Senayan.

Dari berita yang dilansir oleh Kompas, beberapa partai sudah siap dengan nama-nama yang akan diusung sebagai bacaleg.

Namun dari sejumlah partai yang telah mempersiapkan para bacalegnya, representasi perempuan terlihat sekenanya di angka 30%.

Seolah hanya untuk memenuhi persyaratan administratif agar partai bisa lolos mengikuti pemilu.

PDI-P disebut telah mendaftarkan 580 orang bacaleg. Namun presentasi bacaleg perempuannya hanya 33% yang berarti hanya sekitar 192 perempuan yang menjadi bacaleg.

Jumlah ini sebenarnya merupakan ironi menyedihkan, mengingat partai ini dipimpin oleh perempuan selama puluhan tahun, dan juga berhasil mengantarkan salah satu petugas partainya sebagai Ketua DPR perempuan pertama dalam sejarah Indonesia.

Golkar telah merekrut bacaleg sebanyak 200% dari total kursi yang ada di seluruh dapil. Namun alokasi untuk bacaleg perempuan hanya pas 30%, tidak lebih!

Sama seperti halnya partai-partai lain yang konon berkomitmen untuk memenuhi persyaratan representasi perempuan 30%.

Namun satu partai besar pun tampak tak ada yang benar-benar berani dan total untuk memberikan representasi kepada perempuan dengan merekrut bacaleg hingga lebih dari 40%.

Sebagai perbandingan, pada Pemilu 2019 silam, ada tiga partai dengan representasi caleg perempuan tertinggi yang lebih dari 45%, yakni PKPI (55%), serta Garuda dan PSI dengan angka yang sama (48%).

Baca Juga: Perempuan Memilih Jadi Politisi? Ini Syarat Lowongan Kerja dan Prospek Kariernya

Sayang ketiga partai ini tidak lolos parliamentary threshold, sehingga tidak berhasil menempatkan caleg perempuannya di parlemen.

Ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap representasi perempuan untuk diajukan sebagai bacaleg dari partai politik sebenarnya sangat tergantung pada political will para elit partai.

Selama ini yang kerap dikumandangkan oleh pengurus partai adalah tentang susahnya mencari bacaleg perempuan yang mumpuni demi memenuhi minimum kuota 30% (White & Aspinall, 2019).

Padahal jumlah perempuan yang bisa direkrut menjadi bacaleg banyak.

Alasan tersebut sungguh tak masuk akal mengingat populasi perempuan dewasa yang telah punya hak politik di negara ini mencapai 103 juta orang, sementara populasi laki-laki dewasa yang punya hak politik hanya 102 juta orang (KPU, 2023).

Mustahil tak bisa menemukan bacaleg perempuan di antara populasi yang bahkan jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki!

Sulitnya Partai Mendukung Perempuan

Beragam studi menunjukkan rendahnya keterpilihan perempuan dalam politik disebabkan oleh hambatan kultural, seperti kuatnya budaya patriarki (Lovenduski, 2005) dan pengaruh ajaran agama (Rohman, 2013; Bakri, 2020) yang membentuk bias gender para pemilih terhadap politisi perempuan (Ballington et al, 2012; van der Pas et al, 2022).

Hambatan kultural ini menyebabkan partai politik tak berani melakukan langkah besar untuk mendobrak prasangka terhadap kemampuan berpolitik perempuan.

Baca Juga: Membenahi Perekrutan Partai untuk Memperjuangkan Kepentingan Perempuan

Tak peduli beberapa partai seperti PKS, PKB, dan PDI-P mengidentifikasi partai mereka sebagai partai kader, pada akhirnya semua partai sama saja dengan bertindak pragmatis dan hanya mengedepankan kepentingan elektoral ketimbang menjalankan fungsi rekrutmen politik dan agen edukasi politik.

Jika saja partai politik di Indonesia menjalankan fungsi rekrutmen dan edukasi politik yang layak dalam mempromosikan perempuan sejak dulu, bisa jadi kesetaraan gender dalam politik sudah berjalan ke arah yang lebih baik.

Kaderisasi dan endorsement dari partai yang berperan mengantarkan politisi perempuan seperti Theresa May menjadi Perdana Menteri Inggris, Julia Gillard sebagai Perdana Menteri Australia, dan Jacinda Arden sebagai Perdana Menteri Selandia Baru.

Walau tak dapat dipungkiri seksisme dan bias gender di negara-negara tersebut juga masih sangat tinggi, partai politik tempat mereka bernaung secara positif mendukung para perempuan untuk mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan di negaranya.

Tidak seperti partai di negeri ini yang baru kalang kabut mencari bacaleg perempuan menjelang penyelenggaraan pemilu.

Padahal partai punya waktu bertahun-tahun untuk melakukan kaderisasi terhadap calon politisi perempuan.

Ekosistem Politik yang Tidak Pernah Memihak Perempuan

Perekrutan bacaleg perempuan merupakan isu yang kompleks sebab partai politik masih enggan untuk merekrut, mengkader, dan mempromosikan politisi perempuan dengan sepenuh hati.

Tak heran jika bacaleg perempuan yang direkrut oleh partai kebanyakan berasal dari dinasti politik atau pesohor demi memudahkan partai mendapatkan angka popularitas dan elektabilitas secara instan (Cakra Wikara Indonesia, 2019).

Baca Juga: Kritisi Krisis Iklim di Indonesia, ini Pandangan Pemilih Muda soal Pemilu 2024

Akibat dari perekrutan mode instan ini tentunya merugikan perempuan. Sebab representasi perempuan menjadi kurang beragam, padahal isu dan kepentingan perempuan yang harus dikedepankan begitu banyak.

Kurangnya ragam representasi perempuan ini berpotensi membuat kepentingan perempuan yang membutuhkan perhatian khusus menjadi tidak diakomodir.

Kepentingan tersebut seperti kebutuhan perempuan disabilitas, perempuan penyintas kekerasan seksual, perempuan masyarakat adat, dan beragam representasi perempuan lainnya.

Padahal kebijakan publik yang mampu mengakomodasi kepentingan-kepentingan khusus perempuan saat ini masih tidak memadai.

Keragaman representasi perempuan di parlemen adalah salah satu ikhtiar penting, sekaligus menunjukkan itikad baik dari keseluruhan ekosistem politik, untuk mengutamakan kebijakan-kebijakan yang properempuan.

Tapi jika partai politik dan penyelenggara pemilu sejak awal selalu membatasi dan sudah menghadang keterlibatan perempuan, kebijakan publik yang ramah perempuan sampai kapan pun tidak akan pernah terpenuhi.

Kesetaraan gender akan menjadi angan-angan.

DEMOKRASI DINODAI! SEBAB SALAH SATU PIHAK (YAKNI PEREMPUAN) TIDAK DIBERIKAN KESEMPATAN YANG SAMA untuk memperjuangkan, menyuarakan, ikut terlibat, dan punya andil dalam politik. (*)

Baca Juga: Perempuan Ingin Berkompetisi di Pemilu 2024? Ini Tips dari Ridwan Kamil



REKOMENDASI HARI INI

Menyambut Pemilu 2024, Mengapa Begitu Susah Memilih Perempuan?