Parapuan.co - Rasanya tidak aneh apabila sebagian dari Kawan Puan mungkin masih mengingat tragedi kerusuhan Mei 1998.
Pasalnya pada masa itu banyak perempuan Indonesia dari etnis Tionghoa yang menjadi korban.
Salah satunya adalah sosok Ita Martadinata yang juga aktif sebagai anggota Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP) pada Mei 1998.
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) ini ditemukan tewas saat usianya baru 18 tahun kala itu.
Siapa sebenarnya sosok Ita Martadinata dan bagaimana perjuangannya sebagai anggota TRKP?
Simak kisah Ita Martadinata semasa hidupnya hingga menjadi korban tragedi Mei 1998 sebagaimana merangkum The Jakarta Post berikut ini!
Ita Martadinata Dibunuh saat Hendak Bersaksi di PBB
Ita Martadinata ditemukan tewas dibunuh di kediamannya sebelum berangkat ke New York, Amerika Serikat untuk bersaksi di Sidang PBB.
Ia bakal menjadi saksi tentang pemerkosaan masif selama kerusahaan Mei 1998.
Baca Juga: Atnike Nova Sigiro, Dosen dan Aktivis Perempuan yang Kini Jadi Ketua Komnas HAM
Kengerian mengenai tewasnya Ita Martadinata diungkapkan oleh salah seorang mantan anggota Tim Relawan Kemanusiaan (TRK), Fatia Nadia.
Pada 2021 lalu, Nadia mengungkapkan bagaimana ia mendapat kabar kematian Ita dan datang langsung menyaksikan jasadnya.
Meski sudah 25 tahun berlalu, Nadia masih ingat persis betapa jasad Ita Martadinata ditemukan bersimbah darah di rumahnya.
Nadia berkisah, kala itu Nadia mengajukan diri untuk memberikan kesaksian tentang pemerkosaan di Mei 1998.
Tentu saja, keputusan itu sudah melalui diskusi dengan orang tuanya dan anggota TRK.
Namun saat tiket pesawat, visa, dan akomodasi sudah disiapkan untuk Ita, Nadia justru menerima kabar duka.
Nadia menerima kabar kematian Ita pada 4 Oktober 1998 dari rekan sesama aktivis, yaitu Lily Zakiyah Munir.
Usai mendengar kabar tersebut, ia langsung bergegas ke rumah Ita untuk memastikan berita yang didengarnya.
"Itu 45 menit setelah Ita dibunuh. Saat saya masuk ke kamarnya, saya kaget karena darahnya banyak sekali," kenang Nadia.
Baca Juga: Yuri Muktia, Dirikan Komunitas demi Ruang Aman bagi Pekerja Perempuan
Nadia mengungkap, ia bisa melihat darah masih mengucur dari tubuh Ita dan mendapati sebatang tongkat kayu menancap di anus korban.
Ia menyebut kasus kematian Ita adalah pembunuhan paling keji yang pernah dilihat sepanjang hidupnya.
Motif Pembunuhan terhadap Ita Martadinata
Nadia menjelaskan ada motif politis di balik kematian tragis Ita Martadinata yang juga menjadi korban pemerkosaan pada Mei 1998.
Menurutnya, ini berkaitan dengan rencana keberangkatan Ita ke New York dan dimaksudkan untuk mengintimidasi Tionghoa-Indonesia.
Dengan demikian, mereka tidak bersuara tentang pemerkosaan masif selama kerusuhan Mei 1998.
"Ini adalah pembunuhan sistematis dan politis untuk membungkam orang Tionghoa-Indonesia untuk bersuara di tingkat internasional," kata Nadia.
Sekadar informasi, TRK menemukan setidaknya 152 kasus pemerkosaan di mana 20 orang di antaranya meninggal dunia.
Mayoritas korban sendiri adalah perempuan Tionghoa, yang dilakukan sebagai teror hingga banyak perempuan takut keluar dari rumahnya.
Baca Juga: Cerita 5 Pembela HAM Perempuan tentang Kampanye Kekerasan Seksual
Data di atas barangkali belum mencakup keseluruhan jumlah korban.
Akan tetapi, hingga saat ini data itulah yang masih digunakan sebagai acuan terkait kasus pemerkosaan Mei 1998.
Di sisi lain, para korban banyak yang tidak berani melapor karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Satyawanti Mashudi menyebut, ketakutan itu masih dirasakan sampai detik ini.
Apa yang dialami Ita Martadinata dan puluhan perempuan lainnya memberikan efek dahsyat bagi korban lain untuk tetap bungkam.
"Itu yang membuat para korban bungkam, hingga hari ini," kata Satyawanti Mashudi.
Kawan Puan yang turut menjadi saksi tragedi Mei 1998 mungkin juga merasakan seperti apa kengeriannya.
Semoga informasi mengenai Ita Martadinata ini membuka mata kita, bahwa banyak dari perempuan yang masih berjuang mengatasi trauma dari kejadian tersebut.
Baca Juga: Kate Walton, Aktivis asal Australia yang Aktif Perjuangkan Hak Perempuan di Indonesia
(*)