Parapuan.co - Baru-baru ini terdengar kabar bahwa Thailand akan mendaftarkan sarung khas negaranya yang disebut pha khao ma ke UNESCO.
Melansir dari The Star, Juru Bicara Pemerintah Thailand, Anucha Burapachaisri, tujuan mendaftarkannya sebagai warisan budaya ke UNESCO untuk mempromosikan budaya Negeri Gajah Putih secara global.
Langkah ini juga berkaitan dengan suksesnya penampilan penari Thailand yang memakai pha kao ma dan mendapat perhatian besar pada Hari Tari Dunia 2023, yang diadakan di Jakarta pada 6 Mei lalu.
Maka dengan mendaftarkan sarung tradisional Thailand tersebut bisa menjadi soft power untuk mempromosikan Thailand secara internasional.
Memang selama ini banyak orang mengira bahwa sarung adalah pakaian khas Indonesia, namun sebenarnya kain tradisional ini banyak dipakai di beberapa negara Asia sejak ratusan tahun lalu. Sarung juga merupakan bagian kehidupan di Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Singapura, dan Myanmar.
Melansir dari Kompas.com. diperkirakan sarung muncul sejak abad ke-14 yang dibawa oleh pelaut serta pedagang Arab dan India ke Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, sarung berasal dari Yaman yang terkenal dengan sebutan futah.
Berdasarkan memoar yang ditulis Pangeran Djajadiningrat dari Kesultanan Banten, disebutkan masyarakat Jawa masih menggunakan sarung, jas model Jawa, dan kain tutup kepala yang disebut destar hingga sekitar 1902.
Sarung dibuat dari berbagai macam bahan, seperti katun, sutera, ataupun poliester.
Sementara menurut Zafirah Mohamed Zein, penulis A sarong's story: Reclaiming Asia’s versatile cloth, sarung didefinisikan sebagai sepotong kain panjang yang melilit tubuh.
Baca Juga: Rekomendasi Sarung Batik untuk Pria, Cocok untuk Kado Suami dan Pacar
"Kain diikat di pinggul atau di bawah lengan dengan membawa kedua ujungnya ke tengah atau menariknya ke tengah," imbuh Zein.
Bahkan Zein juga menambahkan bahwa sarung merupakan salah satu pakaian tertua yang digunakan di seluruh Nusantara dan kawasan Asia secara luas.
Sementara melansir dari National Geographic, sarung dalam bahasa Melayu dan Indonesia, diartikan sebagai 'menutup' atau 'menutupi'. Kain ini secara tradisional diikatkan di pinggang seperti tabung yang menutup dan melingkari tubuh.
Banyak yang meyakini sarung sebagai jenis kain tenun pertama yang dipakai oleh perempuan maupun laki-laki di wilayah Melayu, Sumatera dan Jawa, yang kemudian terus berkembang hingga ke seluruh daratan Asia. Bahkan tak hanya Asia, seiring berkembangnya zaman, variasi sarung pun terus berkembang hingga ke sebagian Afrika sampai Semenanjung Arab.
Sarung di negara-negara Mekong, di mana tenun tekstil merupakan bagian penting dari budaya lokal, melilitkan kain yang belum dipotong di sekitar tubuh.
Alasan lainnya sarung menjadi kain yang kerap digunakan orang-orang Asia sejak dulu adalah karena busana tradisional ini memungkinkan udara bersirkulasi ke seluruh tubuh secara baik. Dengan kata lain, sarung memungkinkan pemakainya tidak merasa kegerahan atau tetap sejuk di iklim panas dan lembap khas negara-negara Asia Tenggara.
Tak hanya digunakan sebagai pakaian, sarung juga kerap disampirkan di bahu atau digunakan sebagai gendongan untuk menahan bayi saat sedang tidur.
Bahkan tak jarang digunakan untuk melindungi para pemakainya dari terik matahari saat ditangkup di atas kepala.
Baca Juga: Akan Didaftarkan Thailand ke UNESCO, Ini Rekomendasi Sarung Lilit untuk Perempuan
Makna di Balik Motif
Sarung bukan sekadar pakaian yang multifungsi dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk dan corak sarung banyak bercerita tentang pemakainya atau komunitas asalnya.
Bahkan sarung juga bisa menunjukkan kelas sosial atau suku mana seseorang berasal, serta tingkat formalitas suatu acara.
Contohnya orang Melayu yang mengunakan sarung songket yang disulam dengan benang emas dan perak untuk upacara khusus seperti pernikahan.
Berbeda dengan budaya Sumba Timur, yang mana hanya para orang dengan gelar bangsawan saja yang diperbolehkan untuk memakai sarung dengan warna cerah dan kompleks. Untuk rakyat biasa hanya boleh memakai sarung dengan satu atau dua warna maupun pola polos saja.
Sarung di Masa Penjajahan
Kendati demikian, sarung yang dijunjung tinggi oleh masyarakat asli Asia Tenggara, justru kehilangan kehormatan dan kemuliaan selama berlangsungnya periode kolonial. Hal ini dikarenakan administrator kolonial yang memandang rendah pakaian lokal sebagai inferior dan primitif.
Mereka kemudian memaksakan aturan berpakaian kaum terjajah untuk lebih menegakkan hegemoni budaya kolonial.
Misalnya pada tahun 1872, Belanda memperkenalkan undang-undang di Hindia-Belanda yang mewajibkan setiap orang untuk mengenakan pakaian bangsa Eropa di tempat umum. Perempuan Belanda dan Eurasia pun dilarang mengenakan sarung di depan umum, karena menyiratkan bahwa mereka telah menjadi pribumi, yang cenderung rendah dan primitif.
Baca Juga: Aturan Penggunaan Kain Ulos Khas Batak, Bisa Dipakai sebagai Selendang hingga Rok
Meskipun sebagian besar orang Belanda menganggap sarung itu terbelakang dan merendahkan, beberapa perempuan Belanda justru masih saja memakainya di rumah.
Salah satu alasannya karena kain sarung dianggap sebagai pakaian yang fungsional, bisa memberikan kemudahan dalam bergerak dan lebih cocok dikenakan di daerah dengan iklim tropis.
Namun, pada akhirnya para perempuan Eropa tetap berupaya membedakan diri mereka dari perempuan pribumi dengan membuat sarung mereka sendiri. Yaitu dengan menyematkan sarung berdesain batik yang dipengaruhi gaya Eropa, sehingga memberikan kesan mewah dan eksklusif.
Sarung yang dipengaruhi Eropa ini sangat diminati sebagai barang eksotik, bahkan hingga diekspor dan dijual di kota metropolitan kolonial, terutama pada masa-masa awal penjajahan.
Sarung di Era Modern
Walau sempat dilarang dipakai pada era kolonial, namun sarung masih jadi bagian dari budaya berpakaian masyarakat Indonesia hingga kini.
Bahkan sarung juga kerap diidentikan dengan pakaiannya para santri hingga saat ini.
Era modern kini, makin banyak generasi muda yang turut terlibat aktif dalam pelestarian sarung sebagai pakaian tradisional khas Tanah Air.
Misal saja seperti semakin banyaknya komunitas-komunitas yang turut membagikan cara menggunakan kain tradisional ini, sekaligus menyebarkan semangat kepada muda mudi lainnya untuk percaya diri dalam mengenakan sarung.
Bahkan pada 3 Maret 2023 lalu, para komunitas pelestari kain tradisional turut memeriahkan Hari Sarung Nasional dengan mengadakan acara Sarung on The Street di Semarang, Jawa Tengah. Dalam acara ini diadakan parade mode mengenakan sarung dengan aneka gaya dan motif oleh para muda mudi.
Hal ini pun membuktikan bahwa sarung adalah bagian dari budaya Indonesia yang perlu dilestarikan dan dibanggakan.
(*)
Baca Juga: Jelang Hari Ulos Nasional, Kenali Sejarah Ulos yang Punya Makna Sakral Bagi Suku Batak