Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Sebuah keluarga bisa saja dikatakan “utuh” secara norma, ketika terdapat unsur ayah, ibu, dan anak.
Namun keluarga yang demikian, tampil sebagai keluarga inti (nuclear family), tak berhasil memenuhi fungsi sosialnya. Ini terutama dikaitkan saat membesarkan anak.
Pada keluarga yang nampak “utuh” ini terjadi fenomena yang kini lazim disebut sebagai fatherless atau father absence.
Problem fatherless bisa disebabkan oleh perceraian, tetapi dalam konteks ini terdapat problem kehadiran, yang membuat fungsi ayah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Fatherless juga disebabkan oleh orang tua yang tinggal berjauhan akibat tuntutan pekerjaan atau kesibukan ayah, yang terlalu padat.
Namun saat sang ayah ada di rumah dan berkumpul bersama anak-anaknya pun, situasi fatherless bisa terjadi.
Artinya, masalah fatherless tidak melulu bisa diatasi lewat keberadaan secara fisik saja, melainkan juga psikis.
Pertanyaannya, mengapa bisa terjadi fenomena fatherless, terutama pada keluarga inti?
Hal ini tentu tidak terlepas dari stereotip tentang peran perempuan, atau dalam hal ini ibu.
Baca Juga: Indonesia Peringkat ke-3 Fatherless Country di Dunia, Ini Pengertian dan Dampaknya