Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Ibu dianggap punya kewajiban untuk fokus mengurusi hal-hal domestik, mulai dari urusan rumah tangga hingga membesarkan anak.
Pandangan tersebut tidak sepenuhnya keliru, tetapi menjadi problematik jika menimpakan tanggung jawab tersebut hanya pada ibu.
Di sisi lain, ayah kerap diposisikan sebagai orang yang fungsinya hanya sebagai pencari nafkah (breadwinner).
Dengan stereotip peran seperti itu, maka seorang ayah merasa dirinya hanya memiliki tugas mencari uang, mengirimkannya pada istri, memberi jajan pada anak. Setelah itu selesai.
Saat ayah dianggap telah menjalankan fungsinya sebagai breadwinner, maka dia tidak merasa punya tanggung jawab lagi untuk membangun ikatan psikologis dengan anak.
Dari mana akar pembagian peran yang seolah-olah kodrati itu?
Friedrich Engels dalam bukunya berjudul The Origin of the Family, Private Property, and the State, menuliskan bahwa peran semacam itu dapat dilacak dari bagaimana laki-laki diserahi tugas untuk berburu hewan di alam liar.
Tugasnya tersebut membuat laki-laki merasa memiliki hak atas hasil buruannya dan menempatkan perempuan hanya sebagai orang yang mengurusi domestik.
Dengan perasaan kepemilikan atas hasil buruan tersebut, lanjut Engels, pria kemudian merasa perlu untuk mengetahui garis keturunannya agar dapat melanjutkan kepemilikan pribadi.
Baca Juga: Hari Ayah Nasional, Ini Pentingnya Sosok Ayah dalam Kehidupan Anak