Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Dari sanalah kemudian bibit-bibit patriarki muncul, yang seolah menempatkan esensi perempuan secara turun-temurun hanya pada tugas-tugas domestik.
Padahal di masa-masa sebelumnya, pembagian kerja laki-laki dan perempuan tidaklah setegas itu, kecuali bahwa kenyataannya secara biologis perempuan memiliki rahim untuk reproduksi.
Meski seorang anak dilahirkan dari rahim perempuan, tidak berarti hanya ibunya yang mengurusi anak tersebut.
Anak dibesarkan bersama-sama dalam sebuah masyarakat kolektif.
Apa arti dari pandangan Engels tersebut?
Dapat dikatakan bahwa peran laki-laki dalam rumah tangga sebagai breadwinner dan tugas perempuan untuk mengurusi hal domestik termasuk membesarkan anak bukanlah sesuatu yang kodrati.
Semuanya bisa dilacak secara historis bahwa laki-laki dan perempuan semestinya membesarkan anak bersama-sama tanpa membebankan tanggung jawab tersebut pada salah satu pihak saja.
Pandangan stereotip tentang pembagian tugas ini bahkan makin parah jika melihat sejumlah fenomena di dunia kerja, yang kurang memandang serius perempuan yang bekerja sambil mengurus anak.
Mereka dianggap hanya mencari “sampingan”, sekadar tambah-tambah uang jajan, karena yang dianggap pencari nafkah utama biasanya hanya sang suami.
Baca Juga: Ini Peran Penting Ayah agar Remaja Perempuan Terhindar dari Kekerasan Seksual
Stereotip-stereotip semacam ini harus dikikis, Kawan Puan.
Ayah dan ibu punya tugas yang sama dalam baik membesarkan anak maupun mencari nafkah.
Semuanya adalah perkara pembagian kerja yang disepakati bersama dan bukan karena melekat sebagai kodrat dalam laki-laki maupun perempuan.
Tidak perlu dibesar-besarkan jika melihat video ayah menggendong bayi atau mengganti popok.
Hal demikian bukanlah tindakan luar biasa, melainkan hal yang mesti dinormalkan.
Dalam pengamatan penulis selama beberapa tahun ini tinggal di Inggris, hal-hal seperti ayah pergi berdua bersama anak ke taman atau ke mal merupakan hal yang biasa.
Banyak ayah yang bersedia meluangkan waktu untuk momen-momen berkualitas bersama anak.
Hal ini berbeda dengan apa yang penulis perhatikan di Indonesia.
Seorang ibu saat pergi ke mal sambil menenteng belanjaan juga tetap harus menyuapi anak dan sekian banyak peran lainnya yang dilakukan berbarengan.
Seorang ayah seolah sudah menganggap hal demikian sudah “seharusnya” dilakukan ibu dan diglorifikasi dengan sebutan-sebutan seperti “super mom”, “multitasking”, dan sebagainya.
Banyak penelitian tentang pentingnya peran ayah baik secara fisik maupun psikis terhadap anak, mulai dari meningkatkan perasaan aman dan percaya diri bagi si anak, sampai pengaruhnya terhadap menurunnya tingkat kenakalan.
Dengan demikian, seorang ayah sebaiknya tidak merasa cukup dengan kiprahnya sebagai pencari nafkah di luar rumah.
Melainkan berbanggalah jika punya kemampuan menyeimbangkan diri dalam perannya sebagai ayah secara fisik dan psikis bagi anak-anak. (*)