Parapuan.co - Sebentar lagi masyarakat Jawa akan menyambut malam satu Suro yang jatuh pada Selasa, 18 Juli 2023.
Di mana malam satu Suro dirayakan dengan beragam tradisi baik dari Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta.
Meski punya tradisi malam satu Suro yang sama, tapi ritual yang dirayakan oleh Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta berbeda.
Dilansir dari Kompas.com, berikut ini perbedaan perayaan malam satu Suro di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta:
Tradisi Malam 1 Suro di Keraton Yogyakarta
Pada saat malam satu Suro, Keraton Yogyakarta punya ritual yang disebut dengan Topo Bisu Lampah Mubeng Benteng.
Ritual Topo Bisu Lampah Mubeng Benteng pada malam 1 Suro telah dilaksanakan secara turun temurun sejak zaman Sri Sultan Hamengku Bowono II.
Tradisi Topo Bisu Lampah Mubeng Benteng dilaksanakan dengan jalan kaki kurang lebih empat kilometer.
Rute jalan dimulai dari Bangsal Pancaniti, Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, Jalan Agus Salim, Jalan Wahid Hasyim, Suryowijayan, Pojok Beteng Kulon, Jalan MT Haryono, Pojok Beteng Wetan, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di Alun-alun Utara.
Baca Juga: Sambut Tahun Baru Islam, Ini Sederet Tradisi Unik 1 Muharram di Indonesia
Rangkaian tradisi Topo Bisu Lampah Mubeng Benteng diawali pelantunan tembang macapat oleh para abdi dalem, yang mana liriknya mengandung doa-doa serta harapan.
Pelantunan macapat dilaksanakan di area Bangsal Pancaniti, Keben Keraton Yogyakarta.
Uniknya, selama jalan kaki, para peserta hanya diam dengan tatapan mata lurus ke depan.
Di mana keheningan selama perjalanan ini menjadi simbol perenungan diri atau tirakat, serta keprihatinan terhadap segala perbuatan selama setahun terakhir.
Biasanya ritual Topo Bisu Lampah Mubeng Benteng diikuti oleh abdi dalem bregodo Keraton Yogyakarta, perwakilan dari masing-masing kabupaten/kota di DIY, dan juga masyarakat umum.
Nantinya, perwakilan membawa panji-panji alias bendera dari kabupaten/kota yakni Kabupaten Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo dan Kota Yogyakarta.
Tradisi Malam 1 Suro di Keraton Surakarta
Keraton Surakarta punya tradisi Kirab Satu Suro yang dalam sejarahnya berasal pada masa pemerintahan Raja Pakubuwono X yang bertahta pada periode 1893–1939.
Baca Juga: Fine Dining ala Bangsawan, Ini Sensasi Makan Malam di Pracima Tuin
Dalam kisahnya Pakubuwono X rutin berkeliling tembok Baluwarti setiap Selasa dan Jumat kliwon, berdasarkan penanggalan Jawa, rutinitas tersebut pun berubah jadi sebuah tradisi yang terus dilestarikan oleh kerabat Keraton Solo sampai saat ini.
Menariknya, Kirab Satu Suro ini identik dengan kebo bule, sehingga tradisi pun disebut pula dengan Kirab Kebo Bule.
Di mana dalam ritual ini, ribuan orang akan berpartisipasi, mulai dari Raja beserta keluarga dan kerabat, abdi dalem wilayah Solo Raya, hingga masyarakat umum.
Semua peserta kirab pun akan mengenakan pakaian warna hitam, laki-laki menggunakan pakaian adat Jawa disebut busana jawi jangkep, sedangkan perempuan memakai kebaya hitam.
Selama pelaksanaan kirab, kebo bule yang merupaka keturunan Kebo Kyai Slamet sebagai cucuk lampah kirab ini akan berjalan di depan beserta dengan pawangnya.
Setelah itu ada barisan abdi dalem bersama putra-putri sinuhun dan juga para pembesar yang membawa sepuluh pusaka Keraton.
Rute Kirab Satu Suro dimulai dari Keraton Solo, menuju Jalan Pakoe Boewono - Bundaran Gladag, Jalan Jenderal Sudirman, memutari Benteng Vastenburg melalui Jalan Mayor Kusmanto, kemudian ke Jalan Kapten Mulyadi, Jalan Veteran, Jalan Yos Sudarso, melalui Jalan Slamet Riyadi, sampai di Bundaran Gladag berbelok masuk ke keraton.
Sama seperti Keraton Yogyakarta, selama berjalan kaki peserta kirab tidak mengucapkan satu patah kata pun, sebagai bentuk perenungan diri selama satu tahun belakang.
Itu dia perbedaan tradisi malam satu Suro di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, jadi apakah Kawan Puan tertarik menyaksikannya?
Baca Juga: Cara Reservasi dan Peraturan Berkunjung ke Taman Pracima Tuin
(*)