Ajeng Patria Meilisa

Kandidat doktor Universitas Birmingham, UK. Sedang melaksanakan  riset komunikasi keluarga dan perkembangan anak. Berharap dapat mengokohkan peran keluarga dalam masyarakat.

Technoference: Saat Gadget Menginterupsi Komunikasi Keluarga

Ajeng Patria Meilisa Minggu, 13 Agustus 2023
Technoference mampu membuat komunikasi keluarga jadi terganggu.
Technoference mampu membuat komunikasi keluarga jadi terganggu. pixelfit

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Sebelum abad ke-21, handphone merupakan barang mewah yang hanya dimiliki sebagian orang, dari tingkat ekonomi menengah ke atas.

Namun masuk ke era tahun 2000-an, ponsel kian menjadi barang yang lumrah. Berbagai kalangan punya, termasuk anak di bawah umur.

Menurut Badan Pusat Statistik di 2022, sedikitnya 67,88% penduduk Indonesia yang berusia lima tahun ke atas, sudah memiliki handphone.

Di luar soal kepemilikannya, hadirnya sebuah teknologi membawa dampak positif maupun negatif.

Positifnya, masyarakat Indonesia kian melek teknologi dan makin terhubung satu sama lain. Komunikasi dapat dilakukan lebih terbuka.

Negatifnya, penggunaan ponsel yang merajalela menimbulkan banyak persoalan serius, seperti perundungan siber (cyberbullying), pencurian identitas, dan pembobolan kartu kredit.

Salah satu yang sering diabaikan adalah masalah interupsi komunikasi akibat ponsel atau gadget. Ini sering disebut sebagai technoference.

Pada 2015, Brandon T. McDaniel menulis sebuah artikel berjudul, "Technoference: Everyday Intrusions and Interruptions of Technology in Couple and Family Relationships”.

Di dalamnya tertulis bahwa technoference (yang merupakan kepanjangan dari technological interference), merupakan saat dan cara perangkat teknologi mengganggu, menginterupsi, atau menghalangi komunikasi dan interaksi pasangan maupun keluarga, dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga: Bagaimana Orangtua dan Anak Berdamai Akrabi Gadget Sejak Dini

McDaniel dalam uraiannya menyebutkan: Ponsel dan berbagai gadget telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern.

Ponsel menjadi perangkat yang selalu aktif dan terhubung. Juga di saat tidur!

Penggunaan ponsel telah menjadi lebih dari sekadar gaya hidup. Masyarakat modern tidak bisa hidup tanpanya dan menciptakan ketergantungan emosional yang kuat terhadap perangkat tersebut (McDaniel, 2015: 2).

Dari riset McDaniel ditemukan bahwa utamanya technoference terjadi karena jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet via ponsel lebih tinggi daripada jumlah waktu yang digunakan untuk bercengkrama bersama pasangan atau keluarga.

Namun hal yang lebih membahayakan adalah emosi dari pengguna yang merasa lebih diterima dalam sosialisasi di dunia maya, ketimbang membangun kualitas hubungan di dunia nyata.

Sebagai contoh, seseorang bisa merasa bahagia saat mendapat likes dan comment di unggahan Instagram-nya, tetapi tidak lagi menganggap penting apresiasi di dunia nyata.

Bagi para orang tua, masalah tersebut tak bisa diatasi hanya dengan mengurangi waktu penggunaan gadget pada anak.

Jika anak lebih merasa diapresiasi di dunia maya, bukankah wajar jika mereka lebih banyak bergaul dengan handphone atau gadget-nya?

Meski tidak dibenarkan, tetapi alangkah baiknya jika para orang tua mengevaluasi diri, mengapa anak-anaknya lebih sering menggunakan ponselnya di meja makan, bahkan saat berbincang-bincang.

Baca Juga: Perlu Dipantau, Begini Cara Tetapkan Batasan Screen Time untuk Anak

Masalah tidak selesai dengan hanya menjauhkan ponsel dari tangan mereka.

Justru masalahnya akan bertambah parah jika tidak disertai dengan evaluasi menyeluruh, terhadap pola komunikasi keluarga yang berlangsung.

Berkaca dari pengalaman selama berkuliah sekaligus mengurus anak-anak di Inggris dalam beberapa tahun terakhir, penulis sering menemukan adanya anak-anak warga Inggris yang biasa diberi ponsel agar selalu bisa terhubung dengan orang tuanya.

Di Inggris memang terdapat aturan terkait penggunaan ponsel. Seperti misalnya siswa harus memiliki izin tertulis dari orang tua untuk membawa ponsel ke sekolah.

Selanjutnya, ketika tiba di sekolah, siswa harus mendaftarkan ponsel mereka di kantor sekolah dan meninggalkannya di sana.

Ponsel akan disimpan di kantor selama jam sekolah dan dapat diambil kembali oleh siswa sepulang sekolah.

Selama berada di area sekolah, siswa tidak diizinkan menggunakan media sosial melalui ponsel mereka.

Siswa juga tidak diizinkan mengambil atau mem-posting foto-foto mereka sendiri atau teman-teman lain yang menggunakan seragam sekolah.

Hal ini dilakukan untuk menjaga privasi dan keamanan siswa di lingkungan sekolah. Namun pada intinya, secara umum tidak ada pelarangan terhadap penggunaan ponsel pada anak-anak sekolah.

Baca Juga: Begini 3 Cara Membangun Komunikasi Efektif Antara Anak dan Orang Tua

Hal yang lebih ditekankan justru adalah kesadaran orang tua itu sendiri.

Mereka biasanya mempertimbangkan matang-matang sebelum memberikan gawai pada anak-anaknya.

Pemberian gawai tersebut bukan didasarkan pada alasan hiburan semata (agar anak teralihkan, sibuk menggunakan ponsel dan tidak banyak meminta perhatian orang tua), melainkan alasan keamanan.

Justru bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas relasi orang tua dengan anak.

Ketika anak memakai ponsel sambil tetap dalam pantauan, orangtua justru bisa selalu up to date dengan perkembangan keadaan buah hatinya.

Orang tua bisa terlibat dalam perbincangan yang asyik dengan anak-anaknya.

Orang tua tidak perlu melarang anaknya bermain media sosial selama umurnya sudah cukup.

Justru orang tua sebaiknya ikut bermain media sosial dan mengomentari posting yang dibuat anak, sehingga anak bisa melihat orangtuanya turut terlibat dan apresiatif terhadap apa yang mereka lakukan.

Baca Juga: Ini yang Perlu Orang Tua Perhatikan Terkait Pengasuhan Anak dan Penggunan Gadget

Pada dasarnya, penggunaan ponsel di masa sekarang nyaris tidak bisa ditolak, termasuk bagi anak-anak.

Hal tersebut dibenarkan oleh pengamat komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan.

Firman menyatakan bahwa hal tersebut karena fungsinya sebagai pintu masuk pengetahuan.

Namun perlu diwaspadai bahwa pengguna internet, khususnya anak-anak, rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan hingga kekerasan.

Atas dasar itu, Firman tidak menganjurkan untuk menolak gawai dan internet, selama terdapat pendampingan dari orang tua secara proporsional.

Terlepas dari hal itu semua, faktor terpenting tetaplah apresiasi di dunia nyata. Anak harus dibuat nyaman di dunia tatap muka, sehingga mereka tidak menganggap penting untuk terus terhubung dengan ponselnya.

Caranya adalah dengan lebih banyak mendengarkan, bersikap atentif, dan perhatian terhadap kebutuhan anak.

Tentu orang tua, dalam melayani pembicaraan dengan anak, juga tidak sambil bermain ponsel! Hal ini akan membuat anak meniru apa yang dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Letakkan ponsel saat berbicara dengan anak, dan bahkan jangan terlalu sering terlihat memainkan ponsel di depan mereka.

Dengan demikian, technoference memang merupakan hal yang tak bisa terhindarkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, tapi tetap bisa menjadi hal positif, selama dikelola dengan baik atas kesadaran.

Perhatian lebih dan turut terlibat dalam penggunaan gawai akan membuat technoference justru menjadi penyegaran dalam relasi orang tua dan anak. (*)