Parapuan.co - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang banyak terjadi di kalangan masyarakat maupun selebriti sebenarnya bisa dicegah.
Salah satu cara yang dapat diusahakan adalah dengan memberikan bekal kepada pasangan, baik sebelum maupun di awal pernikahan.
Hal itu kini sedang digodok oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam dialog "Kampanye KDRT" pada Jumat, (8/9/2023).
Dalam diskusi tersebut, terungkap bahwa pembekalan pernikahan ternyata dilakukan oleh berbagai agama di Indonesia.
Mengutip pers rilis yang diterima PARAPUAN, disebutkan bahwa semua agama di Indonesia sudah memberikan pembekalan pada pasangan di awal pernikahan untuk mencegah KDRT.
Pembekalan pernikahan itu diharap bisa membuat calon suami istri bisa hidup rukun dan damai.
Selain itu juga menghindari kekerasan terhadap perempuan karena pemahaman agama yang mengsubordinatkan perempuan sebagai objek seksual dan alat reproduksi.
Hal tersebut disampaikan tujuh tokoh agama yang hadir dalam dialog "Kampanye KDRT" yang dihelat KemenPPPA bersama JalaStoria.
Dialog itu dihadiri tujuh tokoh agama yaitu Nur Rofiah dari Islam, Sr Stefani Rengkuan dari Katolik, Pdt. Sifra Glorianthy N dari Kristen, Kadek Nur Mantik dari Hindu, Dharmika Pranidhi dari Buddha, Ponny Wijaya dari Konghucu, dan Is Wediningsih dari Penghayat Kepercayaan.
Baca Juga: Belajar Menciptakan Alternatif Virtual yang Nyaman Bagi Korban KDRT
Selain itu, turut hadir Direktur Eksekutif JalaStoria Ninik Rahayu; dan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KPPPA, Eni Widiyanti.
Dialog lintas agama ini adalah bagian dari kampanye "Penghapusan KDRT" jelang dua dekade UU PKDRT (Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga).
Dalam dialog itu, ketujuh tokoh agama memberikan pendapat dan masukan tentang isu KDRT dan bagaimana cara setiap agama bila jamaahnya melapor kasus kekerasan.
Ponny Wijaya dari Konghucu menekankan bahwa laki dan peremuan saling membutuhkan dan menyelaraskan.
"Tokoh agama sering menyampaikan pada saat pernikahan, ada pembekalan supaya pembekalan hidup harmonis," kata Ponny Wijaya.
"Kita selalu bongkar dan memberikan pembekalan sebelum adanya pernikahan. Kami juga mensosialisasi UU PKDRT dengan khutbah dan lain-lain untuk menyampaikan ke semua umat," imbuhnya.
Di agama Hindu juga punya konseling pernikahan yang bukan hanya untuk pasangan baru, tetapi juga untuk keluarga.
Kadek Nur Mantik dari Hindu mengatakan apabila ada kasus KDRT, keluarga harus bisa memberikan kenyamanan untuk korban, dan tidak menutupi yang ujung-ujungnya justru menyalahkan korban.
"Pemuka-pemuka agama Hindu selalu mengingatkan insan yang akan menikah untuk bahagia, sejahtera lahir dan batin, baik laki-laki atau perempuan," ujar Kadek.
Baca Juga: Viral Video Suami Pukul Istri di Depan Anak, Ini Dampak Buruk Jika Anak Menyaksikan KDRT
Kemudian ada Sr. Stefani Rengkuan dari Katolik yang mengatakan di gereja Katolik sudah aktif mengupayakan menghapus KDRT sejak lama.
Bahkan Gereja Katolik sudah memiliki mekanisme dalam hal menangani pelaporan KDRT.
"Kami dari tingkat KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) memiliki komisi dan membuat jejaring hingga ke tingkat keuskupan. Ada 37 keuskupan di Indonesia," ungkap Stefani.
Ia juga menambahkan, "Selain itu ada mekanisme untuk jamaah yang mengalami KDRT. Kami mencoba meminimalisir kasus KDRT."
Sedangkan Pdt. Sifra Glorianthy N. dari Kristen mengatakan, Gereja Kristen Pasundan saat ini punya kepedulian terhadap KDRT.
Bahkan, para pendeta dibekali pembinaan dan training mengenai keadilan gender.
"Kami diberikan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan sejajar. Kami dibekali membaca alkitab dengan mata baru," jelas Sifra.
"Di balik kisah kekerasan dalam alkitab, kita harus hidup berkeadilan. Ada pembekalan suami istri [sebelum menikah] bahwa hubungan mereka setara,” kata Sifra.
Is Wediningsih dari Penghayat Kepercayaan juga menyatakan bahwa jemaah mengadakan sarasehan setiap minggu yang banyak membahas hal terkait pernikahan.
Baca Juga: Kekerasan Bisa Terulang, Ini Arti Fase Bulan Madu Semu dalam KDRT
"Kita saling berbagi tugas, 109 kepercayaan seluruh Indonesia. Kebahagiaan itu bukan hanya untuk laki-laki, tetapi juga mutlak," tutur Is Wediningsih.
"Penghayat sangat antusias soal ini, dan menimba ilmu terus. Pemuka penghayat ada konseling pernikahan," imbuhnya.
Sementara itu, Nur Rofiah dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) mengatakan kekerasan yang terjadi disebabkan oleh banyak akar permasalahan.
Beberapa akar permasalahan yang sering menjadi penyebabnya yaitu tafsir agama dan kesadaran.
"Pemahaman agama yang menyebabkan banyak tindakan kekerasan untuk perempuan. Peradaban yang kita miliki panjang sekali kekerasan pada perempuan," kata Nur Rofiah.
Dia menjelaskan ada masalah besar di mana orang masih melihat perempuan sebagai objek, baik sebagai alat seksual dan mesin reproduksi.
Nur Rofiah memberikan beberapa solusi untuk mengurangi kekerasan pada perempuan.
Salah satunya adalah memastikan lembaga-lembaga keagamaan sendiri bebas dari kasus kekerasan.
Di sisi lain, Dharmika Pranidhi dari Buddha menekankan, dalam Buddha masih banyak pemuka agama yang belum paham konsep kekerasan perempuan dan bagaimana menjadikan perempuan seutuhnya.
Baca Juga: Diduga Jadi Pemicu KDRT Venna Melinda, Ini Frekuensi Hubungan Suami Istri yang Sehat
"Umat juga banyak yang belum sadar bahwa telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga," tambah Dharmika.
Pada awal minggu lalu, KemenPPPA menyebutkan bahwa dalam 18 bulan terakhir telah terjadi 15.921 kasus kekerasan pada perempuan.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) mencatat data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi hingga saat ini.
Bahwasanya, sepanjang tahun 2022 sampai dengan bulan Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, dengan jumlah korban 16.275 orang.
Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang.
Berdasarkan jenis kekerasannya, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan korban berjumlah paling banyak adalah kekerasan fisik dengan jumlah 7.940 kasus, kekerasan psikis 6.576 kasus, kekerasan seksual berjumlah 2.948 kasus, dan penelantaran 2.199 kasus.
Berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari-Juni 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah dalam rumah tangga (KDRT), yakni sebesar 48,04 persen (7.649 kasus).
Data tersebut menunjukkan kalau Kampanye Penghapusan KDRT sangat penting karena pada tahun ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PDKRT) tepat berusia 19 tahun.
UU itu harusnya sudah memberikan ruang bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk mengupayakan akses terhadap keadilan dan pemulihan.
Baca Juga: Bentuk Kekerasan Seksual dalam Pernikahan yang Umum Dialami Perempuan
(*)