Pro Kontra Tradisi Kawin Tangkap
Meski dianggap sebagai tradisi, nyatanya praktik kawin tangkap ini bisa masuk dalam kategori kekerasan terhadap perempuan.
Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyebut praktik ini sebagai bentuk kekerasan perempuan dan anak yang berkedok budaya.
Tentu praktik ini bisa merugikan perempuan, apalagi jika mereka tidak berkehendak untuk menikah dengan pelaku.
Sama dengan KemenPPPA, Komnas Perempuan juga menyebut praktik ini sebagai pemaksaan pernikahan.
Pada tindakan pemaksaan perkawinan, Komnas Perempuan mengenali bahwa perempuan sebagai korban mengalami kerugian hak konstitusionalnya.
Yakni hak atas rasa aman dan untuk tidak takut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya (Pasal 28G Ayat 1), yaitu hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 28B Ayat 1).
Komnas Perempuan menilai, praktik ini berakar pada diskriminasi gender, di mana perempuan masih dianggap sebagai benda.
Yang mana perempuan bisa diperlakukan semena-mena karena dianggap tidak berdaya dan tidak bisa memilih keinginannya.
Ujungnya, praktik ini bisa berisiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga baik fisik, psikis, maupun seksual.
Karenanya, diharapkan adanya langkah pasti untuk mengatasi pergeseran-pergeseran nilai luhur adat dan tradisi.
Di mana seharusnya tradisi yang baik justru bisa memuliakan perempuan dan bisa melindungi setiap masyarakat maupun warganya dari diskriminasi dan kekerasan.
Baca Juga: Jangan Victim Blaming, Ini 4 Cara Bantu Korban Dating Violence Menurut Ahli
(*)