Viral di TikTok Video Kawin Tangkap di Sumba, Praktik yang Bisa Rugikan Perempuan

Linda Fitria - Senin, 11 September 2023
Ilustrasi kekerasan pada perempuan, seperti video yang viral di TikTok belakangan.
Ilustrasi kekerasan pada perempuan, seperti video yang viral di TikTok belakangan. coldsnowstorm

Parapuan.co - Kawan Puan, belakangan viral di TikTok sebuah video yang memperlihatkan "penculikan" perempuan oleh sekelompok orang.

Video yang viral di TikTok itu disebut sebagai praktik kawin tangkap yang terjadi di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

"Viral Aksi Kawin Tangkap atau Paksa Wanita di Sumba Barat Daya. Sebuan video viral di media sosial yang menunjukkan praktek kawin tangkap atau kawin paksa di Sumba Barat Daya, NTT, Kamis (7/9/2023)," tulis akun Instagram @memomedsos yang videonya kemudian viral di TikTok.

Melansir Kompas.com, Kapolres Sumba Barat Daya AKBP Sigit Harimbawan telah mengonfirmasi kejadian tersebut terjadi di Desa Waimangura, Sumba Barat Daya, NTT.

Kronologi Kejadian

Dari keterangan Sigit, korban DM (20) bersama pamannya hendak pergi ke rumah budaya, namun di tengah jalan tepatnya di pertigaan Wowara, sang paman turun untuk membeli rokok.

Di saat itulah tiba-tiba datang sekitar 20 orang dengan menaiki pikap "menculik" korban dan dibawa ke rumah pelaku.

Saat ini, telah ditetapkan empat tersangka yang diamankan petugas pada Kamis (7/9/2023).

Di antaranya TY (20) laki-laki yang hendak dikawinkan, orang tua kandungnya LP (50), juru bicara, dan sopir mobil pikap.

Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perempuan Pekerja

Saat dimintai keterangan, pelaku sendiri menyebut aksi ini dilakukan untuk mengajak korban menikah.

Tradisi Kawin Tangkap

Masih dari Kompas.com, tradisi Kawin Tangkap merupakan salah satu tradisi pernikahan di Sumba khususnya di daerah Kodi dan Wawewa.

Hal tersebut tertuang dalam Jurnal Tradisi Kawin Tangkap di Sumba, NTT: Perspektif Filsafat Moral Emmauel Kant karya Laurensius Bembot, Donatus Sermada (2022).

Dalam praktiknya, tradisi ini biasanya dilakukan oleh laki-laki dari keluarga kaya yang ingin meminang seorang perempuan.

Perempuan tersebut kemudian "diculik" untuk menjadi calon pengantin atau istri.

Tradisi ini sendiri, dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak, baik dari keluarga laki-laki maupun perempuan dan biasanya memakai simbol adat seperti kuda yang diikat, atau emas di bawah bantal.

Dan saat praktik kawin tangkap ini dilakukan, calon pengantin laki-laki dan perempuan akan mengenakan pakaian adat dan pihak laki-laki akan memberi satu ekor kuda serta parang khas Sumba.

Kawin tangkap tidak boleh dilakukan sembarangan, termasuk oleh sembarang orang atau asal menentukan sosok perempuan yang ingin dinikahi.

Baca Juga: Kampanye 16 HAKTP, Komnas Perempuan Dorong Implementasi UU TPKS Secara Maksimal

Pro Kontra Tradisi Kawin Tangkap

Meski dianggap sebagai tradisi, nyatanya praktik kawin tangkap ini bisa masuk dalam kategori kekerasan terhadap perempuan.

Bahkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyebut praktik ini sebagai bentuk kekerasan perempuan dan anak yang berkedok budaya.

Tentu praktik ini bisa merugikan perempuan, apalagi jika mereka tidak berkehendak untuk menikah dengan pelaku.

Sama dengan KemenPPPA, Komnas Perempuan juga menyebut praktik ini sebagai pemaksaan pernikahan.

Pada tindakan pemaksaan perkawinan, Komnas Perempuan mengenali bahwa perempuan sebagai korban mengalami kerugian hak konstitusionalnya.

Yakni hak atas rasa aman dan untuk tidak takut berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya (Pasal 28G Ayat 1), yaitu hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (Pasal 28B Ayat 1).

Komnas Perempuan menilai, praktik ini berakar pada diskriminasi gender, di mana perempuan masih dianggap sebagai benda.

Yang mana perempuan bisa diperlakukan semena-mena karena dianggap tidak berdaya dan tidak bisa memilih keinginannya.

Ujungnya, praktik ini bisa berisiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga baik fisik, psikis, maupun seksual.

Karenanya, diharapkan adanya langkah pasti untuk mengatasi pergeseran-pergeseran nilai luhur adat dan tradisi.

Di mana seharusnya tradisi yang baik justru bisa memuliakan perempuan dan bisa melindungi setiap masyarakat maupun warganya dari diskriminasi dan kekerasan.

Baca Juga: Jangan Victim Blaming, Ini 4 Cara Bantu Korban Dating Violence Menurut Ahli

(*)

Penulis:
Editor: Linda Fitria


REKOMENDASI HARI INI

Mengapa Semut Muncul di Rumah Saat Musim Hujan? Ini Cara Mengatasinya