"Ternyata perempuan menjadi salah satu korban dari krisis iklim dengan dampak lebih besar yang diterima," ujar perempuan yang akrab dipanggil Dila, saat diwawancarai PARAPUAN.
Bukannya tanpa alasan, Adila mencontohkan bahwa krisis iklim menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan makanan tertentu.
Dan ketika hal tersebu terjadi, maka harga pangan pun akan naik.
"Maka dengan situasi tersebut, perempuan atau ibu sebagai manager rumah tangga, harus memutar otak lebih keras untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan krisis yang terjadi saat ini, dengan harga yang semuanya sedang naik. Itu sebenarnya yang akan dialami oleh semua perempuan," ujarnya mengingatkan.
Tak hanya itu, berdasarkan pengalamannya mengunjungi Nusa Tenggara Timur, Adila melihat bahwa krisis iklim ini juga mengancam anak-anak perempuan.
Ironisnya, anak perempuan lebih besar kemungkinannya untuk putus sekolah di wilayah yang rawan kekeringan.
"Tapi ada lagi yang lebih ekstrem yang akan dialami oleh perempuan akibat krisis iklim. Di NTT, banyak sekali perempuan dan juga anak-anak perempuan, yang mereka harus berhenti sekolah. Kenapa? Karena ada krisis air," cerita Dila.
Dijelaskan olehnya bahwa anak-anak perempuan di desa-desa di NTT akan ditugaskan oleh keluarganya untuk mengambil air ke sumbernya dengan jaraknya sangat jauh.
"Anak-anak perempuan lebih rentan untuk putus sekolah karena harus mengambil air, sebagai dampak dari krisis iklim," tambahnya lagi.
Baca Juga: Pangan Indonesia Terancam Punah, Sejauh Mata Memandang Hadirkan Pameran Kedai Kita