Ini Bukti Perempuan Jadi Korban Paling Terdampak dari Masalah Krisis Iklim

Citra Narada Putri - Selasa, 5 Desember 2023
Perempuan dan anak perempuan jadi korban paling terdampak dari masalah krisis iklim.
Perempuan dan anak perempuan jadi korban paling terdampak dari masalah krisis iklim. (Jacob Wackerhausen/Getty Images)

Parapuan.co - Krisis iklim adalah permasalahan lingkungan yang berdampak kepada semua masyarakat.

Tapi, kita juga tak bisa menutup mata bahwa krisis iklim justru berdampak lebih parah pada perempuan. 

Pernyataan ini bukan omong kosong belaka, karena menurut laporan yang dirilis oleh UN Women pada 4 Desember 2023 di forum COP28, menunjukkan bahwa pada tahun 2050, perubahan iklim dapat mendorong lebih dari 158 juta perempuan dan anak perempuan ke dalam kemiskinan.

Dari laporan bertajuk "Feminist climate justice: A framework for action" juga menunjukkan bahwa pada tahun 2050, dalam skenario iklim terburuk, terdapat tambahan 236 juta perempuan dan anak perempuan yang akan mengalami kerawanan pangan.

Selain itu, petani skala kecil yang sebagian besar adalah perempuan, menghasilkan sepertiga pangan dunia.

Namun, penerapan pertanian berketahanan iklim terhambat oleh kurangnya pendanaan dan ketidakamanan hak atas tanah.

Bagaimana tidak? Perempuan mempunyai peluang lebih kecil untuk memiliki lahan pertanian dibandingkan laki-laki di 40 dari 46 negara.

Ini menandakan bahwa perempuan menjadi kelompok masyarakat paling rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi di berbagai belahan dunia saat ini.

Hal tersebut juga selaras seperti disampaikan oleh Adila Isfandiari, Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia, dalam acara Pameran Kedai Kita bersama Sejauh Mata Memandang di Jakarta (1/12/2023).

Baca Juga: Ini Pentingnya Peran Perempuan dalam Menjalankan Gaya Hidup Berkelanjutan 

"Ternyata perempuan menjadi salah satu korban dari krisis iklim dengan dampak lebih besar yang diterima," ujar perempuan yang akrab dipanggil Dila, saat diwawancarai PARAPUAN.

Bukannya tanpa alasan, Adila mencontohkan bahwa krisis iklim menyebabkan terjadinya kelangkaan bahan makanan tertentu.

Dan ketika hal tersebu terjadi, maka harga pangan pun akan naik.

"Maka dengan situasi tersebut, perempuan atau ibu sebagai manager rumah tangga, harus memutar otak lebih keras untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan krisis yang terjadi saat ini, dengan harga yang semuanya sedang naik. Itu sebenarnya yang akan dialami oleh semua perempuan," ujarnya mengingatkan. 

Tak hanya itu, berdasarkan pengalamannya mengunjungi Nusa Tenggara Timur, Adila melihat bahwa krisis iklim ini juga mengancam anak-anak perempuan.

Ironisnya, anak perempuan lebih besar kemungkinannya untuk putus sekolah di wilayah yang rawan kekeringan.

"Tapi ada lagi yang lebih ekstrem yang akan dialami oleh perempuan akibat krisis iklim. Di NTT, banyak sekali perempuan dan juga anak-anak perempuan, yang mereka harus berhenti sekolah. Kenapa? Karena ada krisis air," cerita Dila.

Dijelaskan olehnya bahwa anak-anak perempuan di desa-desa di NTT akan ditugaskan oleh keluarganya untuk mengambil air ke sumbernya dengan jaraknya sangat jauh. 

"Anak-anak perempuan lebih rentan untuk putus sekolah karena harus mengambil air, sebagai dampak dari krisis iklim," tambahnya lagi.

Baca Juga: Pangan Indonesia Terancam Punah, Sejauh Mata Memandang Hadirkan Pameran Kedai Kita

Ternyata pengalaman Adila Isfandiari juga sejalan dengan laporan UNWomen, yang menunjukkan bahwa perubahan iklim memperburuk kelangkaan air.

Hal ini meningkatkan beban pengumpulan dan pengolahan air pada perempuan dan anak perempuan.

Bahkan secara global, setiap hari perempuan harus menghabiskan waktu 2,8 jam lebih banyak dibandingkan laki-laki untuk perawatan tidak berbayar dan pekerjaan rumah tangga.

Lantas, apa yang harus dilakukan?

Dari laporan UNWomen diketahui bagaimana krisis iklim yang terjadi di seluruh dunia mempunyai dampak yang tidak proporsional terhadap perempuan dan anak perempuan.

Maka diperlukan solusi yang bisa mengintegrasikan hak-hak perempuan dalam perjuangan global melawan bencana lingkungan.  

Mulai dari memastikan bahwa kebutuhan dan hak perempuan serta anak perempuan diintegrasikan ke dalam kebijakan tanggap bencana; memberdayakan perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai sistem pangan dan iklim; hingga kebijakan yang membantu akses perempuan terhadap kesempatan kerja, lahan, pendidikan dan teknologi.

Peran Perempuan dalam Lingkup Rumah Tangga

Baca Juga: Sejarah dan Tema Hari Bumi 2022, Angkat Soal Krisis Iklim dan Solusinya

Dijelaskan oleh Adila, bahwa memang dibutuhkan peran serta banyak pihak untuk mengatasi masalah krisis iklim.

Namun di sisi lain, perempuan juga punya andil yang penting untuk mengatasi masalah lingkungan ini, bahkan dari lingkup terkecil sekalipun. 

"Saya yakin perempuan itu bisa berasal dari diri sendiri, dari circle terkecil kita yaitu keluarga. Dengan begitu seorang ibu bisa mempelajari lebih jauh krisis iklim," ujarnya.

Setelah mempelajari krisis iklim, para perempuan bisa menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dalam rumah tangganya.

Mulai dari memilih pangan lokal, makan lebih 'mindful', lebih hemat energi dan menanamkan bagaimana gaya hidup yang lebih ramah lingkungan tersebut kepada keluarganya.

"Harapannya adalah perubahan di circle terkecil tersebut akan tereskalasi juga ke komunitas yang lebih besar, bahkan ke aksi-aksi kolektif lainnya. Jadi ketika mindset tersebut sudah tercipta di keluarga, maka bisa tereskalasi lebih besar lagi," tutup Adila.

(*)



REKOMENDASI HARI INI

Peran Perempuan Minim, DPR Refleksi Pemilihan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK 2024-2029