Misalnya kondisi kemasan yang rusak, kontak langsung antara makanan dan kaleng, makanan dengan lemak tinggi, kemasan yang lebih tipis, waktu kontak dan kemasan makanan yang mengalami peningkatan suhu.
Di sisi lain, Dr. Karin Wiradarma, M.Gizi, Sp.GK menyampaikan bahwa metabolisme BPA dalam tubuh manusia setelah diserap oleh saluran cerna, akan ditransfer ke hati.
Sebanyak 90 persen dalam bentuk tidak aktif dan selanjutnya akan dikeluarkan melalui urin dan feses, sedangkan 10 persen merupakan bentuk aktif yang memberikan pengaruh negatif pada tubuh.
Tetapi mengingat jumlahnya sangat kecil dibandingkan batas yang ditetapkan oleh berbagai lembaga pengawasan makanan dan minuman dunia, atau Badan Pengawas Obat dan Makanan. (BPOM) di Indonesia, maka kiranya masih dibutuhkan kajian ilmiah lebih lanjut dalam hubungannya dengan kesehatan manusia.
Dr. Aditiawarman Lubis, MPH dari Lembaga riset Ikatan Dokter Indonesia (LR-IDI), juga menyampaikan bahwa masih perlu lebih banyak penelitian yang harus dilakukan perihal kaitan BPA dengan kesehatan.
Terlebih kini penelitian yang ada masih menggunakan hewan sebagai obyek penelitian, serta perlu ada level of evidence yang perlu ditingkatkan.
Ditambahkan juga oleh Dr. Nurhidayat Pua Upa, MARS, Ketua Anguis Institute for Health Education mengatakan bahwa masyarakat perlu diberikan informasi dan edukasi yang tepat mengenai BPA sehingga tidak terjadi asimetri informasi yang membuat bingung masyarakat.
Untuk membantu mengedukasi masyarakat, juga diluncurkan buku bertajuk REVIEW BPA “How To Understand BPA Information Correctly” yang kerja sama dengan Anguis Institute dengan Primkop Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Selain itu, penting untuk diketahui juga bahwa Anguis Institute for Health Education adalah forum yang dipelopori para aktivis IDI yang bersifat terbuka dan independen dengan kepesertaan dari lintas pelaku dan sektor yang memiliki perhatian pada pembangunan kesehatan di Indonesia.
(*)
Baca Juga: Viral di TikTok BPA, Berikut Pengertian dan Cara Menghindarinya