Parapuan.co - Banyak orang yang khawatir dengan penggunaan barang-barang yang mengandung BPA (Bisphenol A).
Sebagai informasi, produk-produk berbasis BPA terdiri atas sumber makanan (Dietary Sources) dan sumber bukan makanan (Non dietary Sources).
Pada sumber bukan makanan, penggunaan BPA misalnya ada pada botol plastik, botol bayi, mainan anak, kemasan air minum, tempat makan, lensa kacamata, pelapis makanan kalengan, disket CD, perangkat otomotif, perlengkapan olahraga dan juga beberapa peralatan medis.
Sejumlah isu yang beredar di masyarakt bahwa ada kaitan BPA dengan beberapa penyakit, di antaranya adalah gangguan hormonal, obesitas dan kardiovaskuler, kanker, gangguan perkembangan dan syaraf anak, infertilitas serta kelahiran prematur.
Perihal isu tersebut, Pakar Polimer ITB, Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc, PhD, mengatakan bahwa reaksi dari bahan beracun seperti BPA dan Phosgene setelah diproses menjadi polikarbonat adalah senyawa yang aman.
Hal ini dikarenakan senyawa tersebut merupakan polimer, sifat kimianya berubah, tidak seperti komponen penyusunnya serta aman dan cenderung tidak reaktif.
Itu ia sampaikan olehnya dalam acara Diskusi BPA Session dengan tema “How to Understand BPA Information Correctly” pada Rabu (6/12/2023) yang diadakan oleh Anguis Institute for Health Education bersama Lembaga Riset Ikatan Dokter Indonesia (LR-IDI).
Dalam acara tersebut juga dibahas mengenai migrasi BPA dari wadah makanan dan minuman bisa saja terjadi pada berbagai kondisi.
Baca Juga: Kenapa Label pada Kemasan Makanan atau Minuman Harus Dibaca? Ini Penjelasan BPOM
Misalnya kondisi kemasan yang rusak, kontak langsung antara makanan dan kaleng, makanan dengan lemak tinggi, kemasan yang lebih tipis, waktu kontak dan kemasan makanan yang mengalami peningkatan suhu.
Di sisi lain, Dr. Karin Wiradarma, M.Gizi, Sp.GK menyampaikan bahwa metabolisme BPA dalam tubuh manusia setelah diserap oleh saluran cerna, akan ditransfer ke hati.
Sebanyak 90 persen dalam bentuk tidak aktif dan selanjutnya akan dikeluarkan melalui urin dan feses, sedangkan 10 persen merupakan bentuk aktif yang memberikan pengaruh negatif pada tubuh.
Tetapi mengingat jumlahnya sangat kecil dibandingkan batas yang ditetapkan oleh berbagai lembaga pengawasan makanan dan minuman dunia, atau Badan Pengawas Obat dan Makanan. (BPOM) di Indonesia, maka kiranya masih dibutuhkan kajian ilmiah lebih lanjut dalam hubungannya dengan kesehatan manusia.
Dr. Aditiawarman Lubis, MPH dari Lembaga riset Ikatan Dokter Indonesia (LR-IDI), juga menyampaikan bahwa masih perlu lebih banyak penelitian yang harus dilakukan perihal kaitan BPA dengan kesehatan.
Terlebih kini penelitian yang ada masih menggunakan hewan sebagai obyek penelitian, serta perlu ada level of evidence yang perlu ditingkatkan.
Ditambahkan juga oleh Dr. Nurhidayat Pua Upa, MARS, Ketua Anguis Institute for Health Education mengatakan bahwa masyarakat perlu diberikan informasi dan edukasi yang tepat mengenai BPA sehingga tidak terjadi asimetri informasi yang membuat bingung masyarakat.
Untuk membantu mengedukasi masyarakat, juga diluncurkan buku bertajuk REVIEW BPA “How To Understand BPA Information Correctly” yang kerja sama dengan Anguis Institute dengan Primkop Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Selain itu, penting untuk diketahui juga bahwa Anguis Institute for Health Education adalah forum yang dipelopori para aktivis IDI yang bersifat terbuka dan independen dengan kepesertaan dari lintas pelaku dan sektor yang memiliki perhatian pada pembangunan kesehatan di Indonesia.
(*)
Baca Juga: Viral di TikTok BPA, Berikut Pengertian dan Cara Menghindarinya