Parapuan.co - Dilema yang kerap dialami oleh perempuan karier adalah ketika mereka harus dihadapkan pada pilihan pekerjaan atau memiliki anak.
Kini makin banyak perempuan yang berpendapat bahwa mereka masih merasa cemas ketika harus memutuskan kapan dan apakah akan memiliki anak.
Berdasarkan laporan Rachel M. Cohen untuk Vox melansir dari abc.net.au, saat ini pertanyaan tentang apakah perempuan akan memiliki anak menimbulkan kecemasan yang jauh lebih kuat.
"Bahkan bagi banyak orang, hal ini menimbulkan ketakutan," tambahnya yang melakukan penelitian terhadap perempuan milenial.
Dalam temuannya tersebut menjelaskan bahwa di era modern saat ini, perempuan dihadapkan pada visi menjadi ibu akan membebani karier mereka.
Bagaimana tidak? Tugas mengurus anak kerap hanya dibebankan kepada ibu, sementara ayah jarang mendapatkan tuntutan yang sama.
Hal ini yang membuat banyak wanita karier merasa takut untuk memiliki anak, karena khawatir dengan beban ganda yang akan dihadapinya.
Ditambah lagi, ketika ibu bekerja kesulitan untuk membagi waktu antara karier dan mengurus anak, menimbulkan perasaan bersalah dan merasa diri tidak berharga.
"Saat ini, sangat sulit untuk menemukan gambaran umum tentang ibu yang tidak stres, tertekan, terisolasi," ujarnya.
Baca Juga: Sambut Hari Ibu, Psikolog Ungkap Cara Bagi Waktu antara Kerja dan Urus Anak
Ditegaskan oleh Cohen bahwa dilema yang dihadapkan perempuan di era sekarang ini adalah akumulasi dari berbagai hal yang telah terjadi pada kaum hawa di masa lampau.
Misalnya saja, dia telah melihat orang-orang dalam hidupnya menghakimi perempuan karena hamil dan perusahaan berusaha untuk tetap terhubung dengan perempuan saat mereka sedang cuti melahirkan.
Inilah yang membuat perempuan kerap menghabiskan banyak energi emosional dalam mengambil keputusan untuk memiliki anak, karena sering kali khawatir terhadap dampak pada kariernya.
Bukannya tanpa alasan. Berdasarkan penelitian oleh University of South Australia tentang tingkat diskriminasi di tempat kerja terhadap wanita hamil dan orang tua yang bekerja, menunjukkan bahwa karyawan diperlakukan secara berbeda oleh atasan sejak mereka mengumumkan bahwa mereka hamil.
"Ketika seorang karyawan memberi tahu atasannya bahwa mereka hamil, kami melihat tren bahwa mereka mulai diperlakukan berbeda, mereka mulai diberi pekerjaan yang kurang bermakna, tugas-tugas yang lebih remeh, dan pendapat-pendapat yang tidak dihiraukan," ujar peneliti University of South Australia, Dr Rachael Potter.
Ia menambahkan, ketika para perempuan mengumumkan bahwa mereka hamil, ada ketakutan bahwa mereka kehilangan kesempatan berkarier.
Tekanan pun tak hanya sampai di situ, karena pasca melahirkan, ibu bekerja mengalami diskriminasi yang lebih buruk di kantor.
"Lebih dari separuh responden melaporkan bahwa mereka dianggap sebagai karyawan yang kurang berkomitmen, karena mereka bekerja paruh waktu, atau mereka memiliki kebutuhan mengasuh anak," ujarnya.
Dalam penelitian Dr Potter juga terkuak bahwa beberapa perempuan merasa tempat kerja tidak aman bagi ibu bekerja.
Baca Juga: 4 Tips Hadapi Rasa Takut Memulai Karier Baru di Awal Tahun 2024
Di Indonesia sendiri, kenyamanan bekerja tanpa diskriminasi telah diatur dalam pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Adapun undang-undang tersebut mengatur tentang Ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan kepada semua pekerja, baik laki-laki maupun perempuan dengan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama dalam bekerja.
Kendati di Indonesia sudah memiliki payung hukum, namun hal tersebut tidak selalu tercermin dalam budaya dan kebijakan perusahaan.
Hal ini tentu akan memengaruhi kepuasan kerja karyawan serta berapa lama laki-laki dan perempuan ingin bertahan di perusahaan.
Maka dari itu penting sinergi dari perusahaan atau institusi untuk turut menerapkan kesetaraan dan kenyamanan bekerja tanpa adanya diskriminasi gender.
Sesederhana menyediakan fasilitas yang mendukung pemberdayaan perempuan di tempat kerja, seperti penyediaan ruang laktasi dan child care.
Bukannya tanpa alasan, karena menurut laporan McKinsey & Company’s Global Institute seperti melansir dari Forbes, perusahaan yang secara aktif mendukung kesetaraan gender cenderung membuat keputusan bisnis yang lebih baik, dan pada akhirnya menghasilkan lebih banyak keuntungan.
Baca Juga: Etika dan Tindakan yang Tepat Jika Ada Rekan Kerja Ajak Anak ke Kantor
(*)
Josephine Christina Arella/PARAPUAN