Masalah lain adalah sulitnya advokasi hak perempuan dan langgengnya pemiskinan perempuan.
Tingginya penyerapan tenaga kerja perempuan pada kenyataannya tidak bisa menjadi indikator peningkatan partisipasi bagi perempuan akibat sistem kerja fleksibel yang mengabdi pada kepentingan pasar bebas dan kemudahan investasi.
Perempuan justru dipaksa masuk dalam lubang kemiskinan melalui kebijakan upah murah, relasi kerja informal dan tanpa pengakuan status kerja, minimnya perlindungan bagi penyandang disabilitas, perempuan hamil dan menyusui.
Salah satu konsekuensi logis dari lapangnya jalan investasi dan pembangunan adalah pasar tenaga kerja murah.
Dalam konteks industri padat Karya, salah satunya sektor garmen yang mempekerjakan 90% perempuan justru memperlihatkan bagaimana nihilnya kesejahteraan buruh perempuan di industri tersebut.
Sektor garmen paling berisiko terkena dampak krisis - PHK. Di tengah kontrak kerja yang semakin pendek umurnya, sistem No Work No Pay/Tidak Kerja Tidak Dibayar juga dipraktikkan oleh perusahaan dengan tidak membayar pekerja perempuan yang mengambil haknya seperti cuti hamil, haid, sakit, dan melahirkan.
Dengan sistem tersebut, praktik kerja penuh kekerasan menjadi tidak terhindarkan. Upah murah, lembur tidak dibayar dan hak-hak normatif yang meluruh lantaran status kerja fleksibel.
Selama sepuluh tahun terakhir, angka kekerasan seksual semakin meningkat, baik di ranah privat maupun ranah publik. Perempuan korban kekerasan kerap mengalami diskriminasi dan re-viktimisasi dalam proses peradilan, sehingga sulit mendapat kepastian dan keadilan.
Selama dua puluh tahun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung disahkan, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menjadi harapan korban kekerasan seksual masih terganjal dengan peraturan pelaksanaan yang tak kunjung jadi prioritas pembahasan.
Baca Juga: Hari Perempuan Internasional, Momen Penting untuk Mendorong Kesetaraan Gender di Tempat Kerja