Parapuan.co - Data UNESCO yang diperbaharui pada 2023 lalu memaparkan bahwa hanya 30 persen peneliti di seluruh dunia adalah perempuan.
Meskipun semakin banyak perempuan yang mendaftar ke universitas, banyak pula yang memilih untuk tidak mengikuti jenjang tertinggi yang diperlukan untuk berkarier di bidang penelitian.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan Data Badan Riset dan Inovasi Nasional 2023, terjadi peningkatan persentase perempuan peneliti sebanyak 45 persen.
Pertumbuhan ilmuwan perempuan di seluruh dunia terjadi secara bertahap namun signifikan. Selama beberapa dekade terakhir, upaya untuk mendorong kesetaraan gender dalam ilmu pengetahuan dan penelitian telah meningkatkan partisipasi perempuan.
Namun, tentu bukan berarti tak lepas dari tantangan, karena masih banyak perempuan peneliti yang menghadapi berbagai hambatan.
Hal tersebut seperti diceritakan oleh Dr. Widiastuti Setyaningsih S.T.P., M.Sc, peneliti, food analytical chemist dan dosen dari Universitas Gadjah Mada, saat wawancara eksklusif dengan PARAPUAN (15/3/2024).
Tantangan Perempuan Peneliti
“Kalau secara konvensional sebenarnya analisis kimia, enggak begitu ramah bagi perempuan, terutama yang sedang hamil,” cerita perempuan yang akrab dipanggil Dr. Widi.
Baca Juga: Ini Perjalanan Dr. Widiastuti Setyaningsih Meneliti Bunga Pisang untuk Jaga Kesehatan Mental
Perempuan yang mendapatkan dana hibah L’Oréal-UNESCO For Women in Science 2023 menilai bahwa jika sedang melakukan aktivitas di lab sangat erat dengan penggunaan bahan-bahan kimia yang mungkin saja berbahaya.
“Kita di lab kan erat menggunakan pelarut organik, bahkan senyawa yang kita teliti mungkin saja berbahaya, karena tidak hanya senyawa bioaktif tapi juga ada senyawa kontaminan, seperti toksin,” cerita Dr. Widi.
Maka memang bagi peneliti perempuan, khususnya di bidang analisa pangan yang Dr. Widi geluti, penting untuk mengetahui prosedur bekerja yang baik dan aman.
Begitu juga perlindungan diri yang lengkap harus ada di lab, seperti sarung tangan dan kacamata lab.
“Tetapi saat ini, sudah sejak beberapa dekade, ada penerapan green chemistry, atau prinsip kimia hijau. Dengan penerapan prinsip ini resiko tersebut dapat dikurangi dengan penggunaan bahan kimia yang less toxic, lebih ramah lingkungan atau bahkan tidak pakai sama sekali,” jelasnya.
Ditambahkan oleh Dr. Widi, kini juga ada pengembangan metode analisis baru yang tanpa bahan kimia, yang dinilai akan lebih aman bagi perempuan peneliti, terutama bagi ibu hamil.
Di sisi lain, peneliti perempuan juga masih kesulitan untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan pribadinya.
“Saya sendiri sebenarnya lebih percaya work and life enggak bisa balance. Karena sebagai seorang ibu seringnya dituntut lebih banyak waktu untuk mengurus life daripada work, untuk membersamai keluarga terutama anak” ujarnya.
Dalam pekerjaan, menurut Dr. Widi, para perempuan peneliti bisa saja digantikan oleh sumber daya manusia yang lain.
Baca Juga: Mainkan Banyak Peran, Ini Work Life Balance ala Amaryllis Esti Wijono
“Tapi kalau kehadiran kita itu tidak bisa tergantikan saat kita membersamai anak. Tapi aktualnya yang terjadi tuntutan kerjaan itu lebih banyak dan akan semakin banyak dengan meningkatnya karier seseorang,” jelasnya.
Maka, agar kedua kehidupan tersebut bisa berjalan - bukan berarti seimbang, diperlukan kompromi dan strategi.
“Masih perlu lagi pertimbangan untuk membagi waktu work karena saya tidak hanya untuk penelitian saja sebenarnya. Lebih challenging karena sebagai dosen juga,” ceritanya yang mengaku membagi waktu pekerjaan dan kehidupan pribadi menjadi tantangan terbesarnya.
Maka strategi yang dilakukan Dr. Widi adalah meminta bantuan untuk pekerjaan yang bisa didelegasikan atau memiliki tim yang kompak, yang bisa diandalkan untuk back up pekerjaan.
Dunia Sains Lebih Inklusif
Kendati masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan, namun Dr. Widi mengaku berbangga hati karena timnya didominasi oleh perempuan peneliti.
“Laki-lakinya (tim riset) hanya seperlimanya. Malah mungkin sepuluh persen yah yang laki-laki,” ceritanya.
Di bidang teknologi pangan, menurut Dr. Widi, memang didominasi perempuan peneliti.
Di sisi lain, bidang analisa pangan yang ia geluti juga cukup mendukung para perempuan peneliti untuk bisa berkembang.
Baca Juga: Agustine Christela Melviana: Perempuan sebagai Peneliti di Bioteknologi Punya 3 Kelebihan Ini
“Ada kemungkinannya kita menjadi leader di dalam bidang analytical chemistry, meskipun memang ada keterbatasan pada beberapa hal,” ujarnya.
Dr. Widi mengaku cukup bersyukur bahwa bidang analisis pangan cukup inklusif.
“Di lingkungan saya sendiri, empat per limanya adalah perempuan peneliti. Dan di lingkungan aktual juga sudah saya rasakan cukup kondusif untuk perempuan beraktivitas dalam penelitian ilmiah, khususnya di analisis pangan,” ceritanya berdasarkan pengalamannya sendiri.
Sementara dunia sains secara umum, menurut Dr. Widi, mungkin masih ada beberapa bidang yang lebih banyak dikuasai oleh laki-laki.
Dilihat dari perspektif kesempatan, menurutnya perempuan peneliti tidak kalah kompetitif dengan laki-laki. Tapi ketertarikan bidangnya terkadang masih terkotak-kotak berdasarkan gender.
Misal saja bidang pangan yang lebih erat dengan perempuan dan teknik yang lebih banyak dengan laki-laki.
“Anggapan di awal bahwa bidang ini bidang laki-laki, bidang ini bidang perempuan itu harusnya dinetralkan,” harap Dr. Widi agar bisa menghadirkan dunia sains yang lebih inklusif.
“Sehingga apapun bidangnya perempuan bisa berkompetisi dengan laki-laki. Juga perempuan peneliti bisa berkompeten di bidang yang mana biasanya laki-laki yang berkompeten,” tutupnya.
(*)
Baca Juga: Persiapan Perempuan Berkarier di Bioteknologi Menurut Agustine Christela Melviana