Pada kasus yang belum diketahui jelas siapa pelakunya, identifikasi terhadap pelaku menjadi sulit ketika video maupun foto sering dibagikan.
Pasalnya, kualitas rekaman atau sensor yang rendah membuat profil pelaku tersamarkan dan tidak terlihat jelas.
Terlebih jika foto atau video dibagikan ke banyak negara berbeda, alhasil asal-usul pelaku jadi hampir mustahil diketahui.
3. Stigmatisasi terhadap Anak
Anak yang jadi korban kekerasan dalam rumah tangga, mengalami pelecehan seksual, atau kesehatannya terpengaruh oleh kejadian tersebut, bisa mengalami stigmatisasi.
Mereka memiliki kemungkinan dikucilkan oleh masyarakat, bisa jadi juga diolok-olok jika masyarakat mengetahui informasi soal kasus kekerasan.
4. Melanggar Hak Martabat Anak
Pasal 16 Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa tidak seorang anak pun boleh diganggu privasinya atau diserang terhadap kehormatan dan reputasinya.
Berbagi foto dan video anak dalam situasi yang merendahkan, bahkan dengan niat terbaik sekalipun dapat menyebabkan rasa malu dan tertekan.
5. Bukan Demi Kepentingan Anak
Karena semua alasan di atas, membagikan maupun menyebarluaskan foto anak, terlebih yang jadi korban kekerasan, adalah demi kepentingan anak.
Oleh karena itu, ada baiknya Kawan Puan tidak dengan mudah membagikan foto maupun video anak yang jadi korban kejahatan, maupun anak pada umumnya karena alasan lucu dan menggemaskan.
Baca Juga: Mengunggah Foto Anak-Anak di Media Sosial, Yakin Aman?
(*)