Parapuan.co - Perempuan bekerja kerap dipandang sebelah mata di masyarakat.
Pasalnya, ibu bekerja harus membagi waktunya dengan bekerja serta mengurus anak dan rumah tangganya.
Padahal, jadi ibu bekerja tidaklah mudah dan butuh perjuangan.
Ibu bekerja juga sama mulianya dengan ibu rumah tangga atau fulltime mom yang mengurus anak dan keluarga.
Hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia.
Hari-hari ini perempuan masih membutuhkan pengakuan sejauh mana mereka telah mencapai kesetaraan gender, dan juga sejauh mana mereka harus melanjutkan memperjuangkan haknya dalam memilih, memiliki pekerjaan, dan kesehatan reproduksi, bahkan untuk menyusui dengan nyaman dan tanpa tekanan.
Meutya Viada Hafid atau Meutya Hafid, Ketua Komisi I DPR RI, seorang ibu berusia 46 tahun ini turut membersamai para perempuan lain di dunia untuk memperjuangkan hak-hak tersebut.
Ia bahkan dengan bertanggung jawab menunaikan janji dan amanahnya sebagai wakil rakyat dan seorang ibu sekaligus.
Perannya sebagai Perempuan dan Ibu
Baca Juga: Sosok Meutya Hafid, Tak Gentar di Daerah Konflik hingga Jadi Ketua Komisi I DPR RI
Meutya menjelaskan bahwa anak dan pekerjaan sama-sama prioritas.
Hamil dan punya anak bukan alasan bagi perempuan menjadi tidak produktif.
Bahkan pada saat-saat sang anak membutuhkan kehadiran ibunya, ibu tetap harus hadir dengan segenap jiwa dan raga.
Berangkat bertugas atau ke kantor dengan membawa anak, tentu seizin atasan, menjadi salah satu hak istimewa seorang ibu.
Pada 30 Maret 2024 lalu, Meutya Hafid juga dengan bangganya menunjukkan identitasnya sebagai seorang ibu.
Ia tak ragu membawa sang anak Lyora Shaqueena Ansyah saat bekerja, ketika berkesempatan menemui Menteri Pertahanan RI ke-26, Prabowo Subianto.
Lyora yang tampak tenang di pangkuan sang ibu ketika berdiskusi dengan Menhan seolah memahami bahwa ibunya adalah bukan hanya miliknya, tetapi milik negara yang dibutuhkan kontribusinya untuk kemajuan bangsa ini.
“Semasa hamil dan beberapa jam menjelang melahirkan, saya masih bekerja dan memimpin rapat bersama Menlu. Itu juga salah satu bentuk komitmen saya untuk menjaga secara seimbang antara keluarga dan pekerjaan, selain juga sekarang beberapa kali mengajak Lyora pada agenda-agenda di Komisi I, ketika Lyora sedang ingin bersama ibunya.
"Setelah punya anak, saya jadi tahu bahwa fasilitas untuk Ibu menyusui di DPR masih kurang, sehingga akhirnya kita buat ruang menyusui di DPR RI yang bisa digunakan oleh semua Ibu,” ujarnya.
Baca Juga: Catat, Ini 3 Mitos yang Harus Perempuan Karier Hindari agar Sukses
View this post on Instagram
Apa yang dilakukan Meutya mengingatkan bahwa pada prinsipnya negara memberikan perlindungan hukum bagi ibu pekerja yang sedang menyusui anaknya sesuai dengan aturan dalam Pasal 83 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
"Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja."
Bagi perorangan atau korporasi sudah seharusnya menjamin penyediaan fasilitas khusus bagi ibu pekerja yang menyusui sesuai dengan aturan dalam Permenkes 15/2013, yang merupakan peraturan pelaksana yang masih berlaku dari UU Kesehatan terdahulu yaitu UU 36/2009.
Tak hanya peduli kepada fasilitas ruang laktasi, mantan jurnalis ini juga tengah menyoroti tantangan pasangan di Indonesia yang bertarung melawan infertilitas.
Baru-baru ini ia merilis bukunya yang berjudul LYORA: Keajaiban yang Dinanti. Buku ini mengisahkan perjalanan pribadinya yang mengharukan ketika ia mengandung putrinya, Lyora, setelah 10 kali melakukan percobaan bayi tabung.
Dengan tulisan yang mendalam dan penuh makna, buku ini membangkitkan kepedulian dan memperjuangkan hak-hak perempuan dalam memperjuangkan kesehatan reproduksinya, bahwa infertilitas adalah suatu masalah kesehatan yang serius, dan setiap pasangan berhak mendapatkan dukungan dan akses terhadap perawatan yang diperlukan.
Meutya menjelaskan bahwa masalah fertilitas atau kesuburan hingga saat ini belum termasuk masalah kesehatan yang ditanggung atau dibantu oleh pemerintah.
Padahal infertilitas secara resmi telah diakui sebagai penyakit oleh WHO, dan kesehatan reproduksi merupakan hak setiap warga negara. Dengan demikian, sudah seharusnya negara hadir untuk mendukung pengobatan infertilitas.
Meutya Hafid berharap bukunya itu tak hanya mengubah stigma dan sikap negatif yang masih sering terkait dengan masalah infertilitas.
Ia ingin mendorong perubahan sosial yang lebih luas dalam pemahaman dan dukungan terhadap pasangan yang sulit mendapatkan keturunan.
Ketika seorang perempuan seperti Meutya Hafid memilih jalur karier menjadi ibu yang juga bekerja dan produktif untuk bangsanya, sering kali waktu yang dapat dialokasikan untuk anak dan keluarga menjadi terbatas.
Pekerjaan profesional sering kali memerlukan tanggung jawab dan perhatian yang besar.
Namun, Meutya telah cukup membuktikan bahwa manajemen waktu yang baik dan penempatan prioritas yang benar bisa membantu perempuan menunaikan haknya dan mengatasi tantangan ini.
Baca Juga: Ini Strategi Sukses Jadi Seorang Ibu dan Pengusaha di Waktu Bersamaan
(*)