Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Sekali lagi, perempuan terpilih menjadi pemimpin negara. Claudia Sheinbaum terpilih menjadi presiden perempuan pertama di Meksiko.
Sheinbaum mendapat perolehan 58% dari total suara, mengalahkan 2 kandidat calon presiden lainnya, Xóchitl Gálvez dan Jorge Álvarez Máynez.
Menarik mengamati kemenangan Sheinbaum ini, dalam konteks kepemimpinan perempuan. Terlebih karena riwayat Meksiko sebagai negara dengan kekerasan gender yang cukup tinggi.
Bahkan, sehari setelah kemenangan Sheinbaum, walikota di Meksiko Barat, yang juga seorang perempuan, Yolanda Sanchez Figueora, tewas ditembak di jalan umum.
Negara kita juga sudah mencatat sejarah adanya presiden perempuan pertama, yaitu Megawati Soekarnoputri, yang sekaligus adalah Presiden ke-5 Indonesia menggantikan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diberhentikan oleh MPR sebelum masa jabatannya berakhir di tahun 2001.
Perempuan menjadi pemimpin memang sering kali menjadi berita besar yang menggembirakan, baik itu di tingkat negara, daerah, atau di sebuah lembaga, organisasi, atau mungkin saja di tingkat lingkungan masyarakat seperti Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW).
Mengapa ini terjadi? Apa yang istimewa? Mengapa ketika perempuan menjadi pemimpin, euforia kegembiraan seperti menyebar luas?
Adakah selama ini yang tertahan dari perempuan, sehingga ketika menjadi seorang pemimpin menjadi pencapaian yang luar biasa?
Ketika berbicara tentang pemimpin, terutama dalam memilih dan menentukan pemimpin, sepertinya ada banyak sekali rambu yang perlu diikuti, ditaati.
Baca Juga: Mengenal Claudia Sheinbaum, Presiden Perempuan Pertama dalam Sejarah Meksiko