Kurnianing Isololipu

Kepala Prodi Magister Administrasi Bisnis, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Pemerhati Perempuan

Kepemimpinan Perempuan, Antara Perasaan dan Pikiran

Kurnianing Isololipu Rabu, 12 Juni 2024
Kepemimpinan perempuan seringkali dihadapkan dengan dilema antara pikiran  atau logika, dengan hati atau perasaan.
Kepemimpinan perempuan seringkali dihadapkan dengan dilema antara pikiran atau logika, dengan hati atau perasaan. Eva Almqvist

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Terbentuklah dalam prosesnya kemudian, stereotype bahwa laki-laki lebih mengedepankan logika dalam bertindak dan perempuan lebih dituntun oleh perasaannya.

Dengan stereotype yang ada, ketika perempuan dihadapkan pada kesempatan memimpin, muncullah penilaian-penilaian keliru yang hanya didasarkan atas stereotype bentukan warisan.

Perempuan yang secara kompetensi memiliki kecakapan sebagai pemimpin, perlu berusaha lebih keras, hanya untuk menunjukkan bahwa dia dapat menggunakan pikiran dan perasaannya dengan tepat.

Kalau pun perempuan memang lebih kuat menggunakan perasaan di dalam memimpin, ini tentu bukanlah sesuatu yang salah.

Telah banyak contoh dalam praktik kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang menunjukkan bahwa dalam situasi genting, penggunaan intuisi dengan merasa, ternyata menjadi sebuah langkah yang tepat diikuti.

Dalam laman Forbes (2024), kepemimpinan perempuan ternyata membawa kualitas yang berbeda dalam konteks penguatan keberhasilan organisasi.

Berdasarkan penelitian kepada para perempuan eksekutif, pendekatan kepemimpinan perempuan ternyata mengedepankan empati, membangun hubungan dan inklusivitas.

Penelitian KPMG (2023) menunjukkan bahwa pemimpin perempuan memiliki kekhasan dengan mendukung praktik kerja yang memperhatikan kesehatan mental untuk tim.

Hal ini dilakukan dengan memberi contoh perilaku empati dan otentik, membangun batasan diri dan lingkungan, serta bersedia mengizinkan diri untuk beristirahat, mengambil cuti bekerja.

Baca Juga: Sinopsis Series Heeramandi: The Diamond Bazaar, Kisah Kepemimpinan Perempuan di India

Memang, kemampuan berempati, membentuk hubungan, praktek inklusif dan menjadi otentik hanya dapat lahir pada diri dengan mengasah rasa, memberi ruang pada perasaan untuk hadir.

Pendekatan humanis yang sebenarnya semakin diperlukan di tengah dunia yang menjadi materialistis dengan aspek modernitas yang bertambah kuat mengakar.

Perempuan dan laki-laki memang berbeda. Begitu pun di dalam memimpin.

Perbedaan ini perlu didukung dengan memperhatikan aspek baik yang memberdayakan dalam kepemimpinan perempuan.

Perempuan yang (akan) menjadi pemimpin boleh dan layak mengedepankan kekuatan khas dirinya (yang berasal dari sifat alami dan sejatinya berbeda dengan laki-laki) tanpa perlu mengikuti kepemimpinan yang dicontohkan oleh laki-laki.

Perempuan patut berani memimpin secara berbeda, yang didasari atas kekuatan diri, dengan menanggalkan asumsi penilaian yang akan diberikan padanya.

Karena kepemimpinan yang diwarnai dengan perbedaan yang memajukan (bukan penyeragaman karena bentukan warisan), akan memberi harapan untuk pertumbuhan bagi yang memimpin dan dipimpin. (*)