Parapuan.co - Indonesia menempati peringkat kedua di Asia Tenggara dalam hal pengeluaran untuk perawatan kesehatan gigi, hanya kalah dari Singapura.
Data dari WHO menunjukkan bahwa beban finansial negara terus meningkat setiap tahun, disebabkan oleh biaya perawatan gigi yang tinggi dan dampak dari hilangnya produktivitas kerja.
Seiring dengan pertumbuhan populasi, pengeluaran untuk pengobatan penyakit gigi dan mulut diperkirakan akan terus meningkat, yang pada akhirnya berdampak pada kerugian ekonomi yang besar bagi negara.
Kawan Puan perlu tahu bahwa masalah kesehatan gigi dan mulut di Indonesia mencakup tingginya kasus karies gigi, rendahnya aksesibilitas perawatan gigi, dan kurangnya edukasi tentang pentingnya merawat kesehatan gigi dan mulut.
Data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) - Survei Kesehatan Nasional (Surkenas) 2001 menunjukkan bahwa dari sepuluh kelompok penyakit terbanyak yang dikeluhkan masyarakat, penyakit gigi dan mulut menduduki urutan pertama dengan angka 60 persen.
Lalu ada lagi penyakit periodontal yang merupakan salah satu masalah kesehatan rongga mulut yang umum terjadi.
Pada tahun 2022, Indonesia mencatat angka prevalensi penyakit periodontal yang tinggi, yaitu antara 19,6% hingga 27,3%.
Sebelumnya, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018 melaporkan bahwa 74,1% penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas didiagnosis menderita periodontitis.
Angka prevalensi periodontitis pada wanita sedikit lebih tinggi dibandingkan pria, yaitu 74,7% berbanding 73,2%.
Baca Juga: Sering Diabaikan, Sakit Gigi Ternyata Pengaruhi Kesehatan Jantung, Ini Kata Dokter
Penyebab Rendahnya Akses Pelayanan Kesehatan Gigi
Ada beberapa alasan mengapa hanya sebagian kecil masyarakat yang mengakses pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Kurangnya kesadaran akan pentingnya kesehatan gigi sering kali membuat masyarakat mengabaikan rasa sakit pada gigi mereka.
Selain itu, sulitnya akses ke pelayanan kesehatan gigi karena minimnya tenaga kesehatan di fasilitas terdekat juga menjadi faktor utama. Akibatnya, banyak yang baru berkunjung ke dokter gigi setelah kondisi gigi mereka memburuk, yang memerlukan biaya perawatan lebih tinggi.
Tingginya angka masalah gigi berkaitan dengan pola makan yang salah dan konsumsi gula yang tinggi. Masyarakat cenderung lebih menyukai makanan manis, kurang berserat, dan mudah lengket.
Sumber utama gula berasal dari minuman manis, seperti minuman berbahan dasar buah, jus buah murni, susu manis, permen, kue, biskuit, sereal manis, sukrosa, madu, sirup, dan manisan.
Trauma dan Ketakutan Berkunjung ke Dokter Gigi
Pengalaman negatif di masa lalu, seperti pencabutan gigi yang menyakitkan dan tarif yang mahal, sering kali menyebabkan trauma pada pasien. Dental fear dan anxiety (DFA) yang dialami sejak masa kanak-kanak dapat bertahan hingga dewasa, membuat pasien enggan berkunjung ke dokter gigi. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut pada penyakit gigi dan mulut.
Budaya self-medication masih banyak terjadi di Indonesia. Kemudahan akses terhadap obat bebas/tanpa resep (over the counter medication) berdampak pada rendahnya angka kunjungan ke dokter gigi. (*)
Baca Juga: Mengenal Gejala Kerusakan Gigi hingga Bagaimana Cara Merawatnya