Rumitnya Lapor Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Saat Jurnalis Perempuan Direkam Ilegal di KRL

Arintha Widya - Sabtu, 20 Juli 2024
Ilustrasi: Rumitnya melaporkan tindakan merekam orang lain secara ilegal yang dialami perempuan di KRL.
Ilustrasi: Rumitnya melaporkan tindakan merekam orang lain secara ilegal yang dialami perempuan di KRL. Freepik

Parapuan.co - Kawan Puan, baru-baru ini seorang jurnalis perempuan yang sedang magang di media online mendapat pengalaman tidak menyenangkan saat naik Commuter Line atau KRL.

Di KRL, ia direkam tanpa izin oleh seorang laki-laki paruh baya berusia 52 tahun. Jurnalis tersebut sudah melapor.

Menurut ceritanya di akun X @anotherssm, saat melapor, dalam ponsel pria itu ditemukan beberapa video rekaman sang jurnalis berdurasi antara 3-7 menit.

Yang lebih mengejutkan, sang jurnalis bukanlah perempuan pertama yang direkam diam-diam oleh tersangka.

Ada sejumlah video perempuan lain, yang bisa saja disalahgunakan untuk tujuan yang tidak terpuji.

Ironisnya, jurnalis yang disapa Dea itu tidak mendapatkan respons positif saat melaporkan dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dialaminya.

Ia membuat laporan ke Polsek Taman Sari, Menteng, Tebet, sampai ke Polres Jakarta Selatan.

Selain prosesnya yang rumit, Dea mengaku mendapatkan komentar bernada menyalahkan korban atau victim blaming dari kepolisian.

Terlepas dari kejadian yang dialami Dea, barangkali di luar sana banyak perempuan yang juga kebingungan dan merasa bersalah saat melapor untuk tindak pidana kekerasan seksual.

Baca Juga: Belajar dari Series Cinta Pertama Ayah, Ini yang Perlu Dilakukan Orang Tua Korban Kekerasan Seksual

Padahal, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) belum lama ini disahkan. Kalau sudah begitu, bagaimana implementasinya?

Mengapa UU TPKS ini terkesan tidak dapat dipakai sebagai alat perlindungan untuk menjaga privasi perempuan yang diambil videonya tanpa izin di transportasi publik seperti KRL?

Bila kejadian serupa terjadi? Bagaimana perempuan bisa melapor dan ke mana lagi mereka meminta perlindungan?

Kendala Implementasi UU TPKS

Meski sudah ada undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual, termasuk rekaman ilegal, korban sering kali menghadapi berbagai kendala dalam proses penegakan hukum.

Di bawah ini sejumlah kendala dalam implementasi UU TPKS seperti merangkum Hukum Online:

1. Proses Pelaporan yang Rumit: Korban sering kali harus melalui proses pelaporan yang panjang dan berbelit-belit, yang dapat menguras tenaga dan emosi.

2. Kurangnya Bukti: Dalam banyak kasus seperti yang dialami Dea, kurangnya bukti yang cukup kuat sering menjadi hambatan dalam menindaklanjuti laporan.

Kamera pengawas atau saksi mata yang dapat mendukung laporan korban juga sering kali tidak tersedia.

Baca Juga: DPR Sahkan RUU TPKS, Menteri PPPA Ungkap Perjuangan Panjang Payung Hukum Ini

3. Stigma Sosial: Korban kekerasan seksual sering menghadapi stigma sosial yang membuat mereka enggan untuk melaporkan kejadian tersebut.

Dukungan dari masyarakat dan pemahaman yang lebih baik tentang masalah ini sangat diperlukan.

4. Ketidakberpihakan Aparat Penegak Hukum: Masih ada aparat penegak hukum yang kurang sensitif terhadap isu kekerasan seksual, sehingga laporan korban tidak ditangani dengan serius dan profesional.

Dalam kasus Dea, ia mengaku bahwa seorang aparat polisi sempat berkomentar, rekaman dirinya dalam kondisi sedang duduk dan tidak ada pemaksaan terkait kekerasan seksual.

Jika Bukan UU TPKS, Apa yang Bisa Melindungi Korban?

1. Perlindungan Hukum dalam UU TPKS

Dalam UU TPKS, sebenarnya sudah terdapat beberapa ketentuan yang bisa diterapkan terkait tindakan merekam secara ilegal dalam konteks kekerasan seksual, yaitu:

  • Pasal 4 ayat (1) huruf c: "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam bentuk tindakan yang menyerang kehormatan atau kesusilaan seseorang."
  • Pasal 6: "Setiap orang yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)."

Hanya saja, di dalamnya tidak tertulis secara spesifik tentang menyerang kehormatan yang dianggap melanggar norma kesusilaan dan dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual.

2. Alternatif Pelaporan Tindak Pidana Pelanggaran Privasi

Baca Juga: RUU TPKS Disahkan, Hannah Al Rashid Berterima Kasih kepada Penyintas Kekerasan Seksual

Dalam konteks kekerasan seksual, merekam seseorang tanpa izin, terutama dalam situasi yang bersifat pribadi atau intim, dapat dianggap sebagai pelanggaran yang serius.

Tindakan ini bisa masuk dalam kategori kekerasan seksual non-fisik, seperti pelecehan seksual berbasis elektronik atau digital.

Tindakan merekam orang lain tanpa izin dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Pasal yang relevan dalam UU ITE terkait tindakan tersebut adalah:

  • Pasal 27 ayat (1): "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."
  • Pasal 45 ayat (1): "Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Meski boleh jadi tidak dapat dilaporkan dengan UU TPKS sebagai sarana pelindung perempuan yang mendapatkan kekerasan seksual dalam bentuk apapun, Kawan Puan tidak boleh menyerah.

Kamu dapat melaporkan tindakan kurang menyenangkan seperti direkam diam-diam di transportasi umum dengan UU ITE.

Apabila kepolisian tidak membantu, kamu bisa melaporkan apa yang kamu alami ke Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan organisasi sejenis lainnya.

Mudah-mudahan informasi di atas membuatmu lebih waspada terhadap tindakan perekaman diam-diam yang mungkin sering kali tidak kamu sadari.

Baca Juga: Cegah Pelecehan di Lembaga Internal, Komnas HAM Desak Penyelenggara Pemilu Bentuk Satgas TPKS

(*)

Sumber: Hukumonline.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya


REKOMENDASI HARI INI

Kronologi Pelecehan Seksual di Panti Asuhan Tangerang, Korban Dipaksa Lakukan Ini