Parapuan.co - Meita Irianty, pemilik tempat penitipan anak atau daycare Wensen School di Depok, telah ditetapkan sebagai tersangka (31/7).
Influencer yang juga dikenal memiliki bisnis kecantikan ini diduga melakukan penganiayaan terhadap balita berusia 2 tahun.
Peristiwa ini terungkap ketika ibu korban, Rizki Dwi Utari (28), mendapat laporan dari salah satu guru dan terkonfirmasi dengan hasil rekaman CCTV salah satu ruangan, seperti melansir Kompas.com.
Kasus ini pun menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat, mengingat Meita Irianty juga dikenal sebagai influencer yang kerap membagikan tips parenting.
Namun ironisnya, di balik konten-konten edukasi parenting yang kerap dibagikannya pada ratusan ribu pengikut, Meita Irianty justru menjadi pelaku kekerasan pada anak.
Ironi Kasus Kekerasan pada Anak
Berdasarkan laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) tahun 2023, tercatat ada 3.547 kasus kekerasan di Indonesia, yang mana angka ini meningkat 30 persen dari tahun sebelumnya.
Ironisnya lagi, kekerasan terhadap anak kerap dilakukan oleh orang dewasa yang paling dekat dengan anak.
Dalam banyak kasus, pelakunya adalah orang tua, guru, pengasuh, bahkan terkadang anak lain yang melakukan tindak kekerasan.
Baca Juga: Viral Kasus Kekerasan pada Anak di Daycare, Ini Dampaknya untuk Psikologis si Kecil
“Siapa saja bisa melakukan kekerasan terhadap anak, namun sayangnya penelitian menunjukkan bahwa kekerasan tersebut kerap dilakukan oleh orang dewasa terdekat yang seharusnya melindungi anak,” jelas Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Dr. Indria Laksmi Gamayanti, seperti melansir laman resmi UGM.
Lantas, mengapa seseorang bisa melakukan kekerasan pada anak?
Sebenarnya, tak benar-benar ada jawaban sederhana yang bisa menjelaskan mengapa seseorang atau bahkan orang tua itu sendiri, melakukan kekerasan terhadap anak.
Ada banyak faktor kompleks yang menyebabkan seseorang bisa melakukan kekerasan pada anak.
Namun, melansir dari Healthline, ada beberapa hal yang meningkatkan risiko seseorang melakukan kekerasan pada anak.
- Riwayat kekerasan atau penelantaran anak selama masa kecil mereka sendiri.
- Mengidap gangguan penyalahgunaan zat.
- Kondisi kesehatan fisik atau mental, seperti depresi, kecemasan, atau gangguan stres pascatrauma (PTSD).
- Hubungan orang tua-anak yang buruk.
- Stres sosial ekonomi akibat masalah keuangan, pengangguran, atau masalah medis.
- Kurangnya pemahaman tentang perkembangan dasar anak (mengharapkan anak-anak mampu melakukan tugas sebelum mereka siap).
- Kurangnya keterampilan mengasuh anak untuk membantu mengatasi tekanan dan perjuangan membesarkan anak.
- Kurangnya dukungan dari anggota keluarga, teman, tetangga, atau masyarakat.
- Merawat anak dengan disabilitas intelektual atau fisik yang membuat perawatan yang memadai menjadi lebih menantang.
- Stres atau krisis keluarga yang disebabkan oleh kekerasan dalam rumah tangga, kekacauan hubungan, perpisahan, atau perceraian.
- Masalah kesehatan mental pribadi, termasuk rendahnya rasa percaya diri dan perasaan tidak kompeten atau malu.
Sejalan dengan itu, menurut dr. Gamayanti, secara psikologis pelaku tindak kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental.
"Faktor pemicu kecenderungan tindak kekerasan pada pelaku beragam, mulai dari kesiapan mental orang tua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” ujarnya.
Baca Juga: Kekerasan Digital pada Anak Kian Merebak di Media Sosial, Waspada Hal Ini
Orang dewasa yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak umumnya adalah individu yang belum matang secara emosional.
Bahkan, bisa jadi mereka pernah mengalami tindak kekerasan semasa kecil.
Jika seseorang mengalami tindak kekerasan di masa kecil, ada potensi mereka melakukan tindak kekerasan yang lebih parah saat dewasa.
“Kenangan trauma masa kecil pada orang tua memperbesar kemungkinan mereka melakukan tindak kekerasan serupa atau lebih parah terhadap anak,” tutur dr. Gamayanti lagi.
Tanda Orang yang Melakukan Kekerasan pada Anak
Selain itu, orang dewasa yang melakukan kekerasan terhadap anak juga dapat menunjukkan tanda-tanda atau perilaku tertentu, seperti:
- Mengabaikan atau menyangkal perilaku bermasalah, perubahan, atau kesulitan anak.
- Menggunakan bahasa yang menunjukkan bahwa mereka memandang anak sebagai orang yang tidak berharga atau membebani mereka.
- Menuntut prestasi fisik atau akademis yang tidak dapat dicapai oleh anak mereka.
Baca Juga: Cegah Kejahatan Seksual pada Anak, 5 Bagian Tubuh Ini Tak Boleh Disentuh Orang Asing
- Meminta guru atau pengasuh lainnya untuk menggunakan hukuman keras jika anak berperilaku buruk.
- Jarang menunjukkan kasih sayang fisik kepada anak.
- Menunjukkan permusuhan kepada anak, terutama saat melihat perilaku buruknya.
- Tidak menunjukkan perhatian yang cukup kepada anak mereka.
Jika Kawan Puan menemui terjadinya kasus kekerasan pada anak, segera laporkan ke pihak berwajib.
Berikut hotline yang juga bisa kamu hubungi untuk membantumu mengatasi masalah tersebut.
- Hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129
- Hotline Komnas PA adalah (021) 8779 1818.
Mari kita lindungi anak dari ancaman kekerasan demi masa depan yang lebih baik.
(*)
Baca Juga: Perjuangan Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak