Konvensi ini mencakup 12 area penting, termasuk kesehatan, politik, serta perlindungan perempuan selama masa kehamilan, kelahiran, dan pasca-kelahiran, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Lebih lanjut, Rini menegaskan bahwa pengarusutamaan gender juga merupakan bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs) ke-5, yakni mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kebijakan ini telah diterjemahkan ke dalam kebijakan nasional dan berbagai regulasi pemerintah.
Di sisi lain, Direktur Westminster Foundation for Democracy (WFD) Indonesia, Ravio Patra, menyampaikan tantangan representasi gender di dunia politik, terutama di parlemen.
Meskipun ada beberapa perempuan yang memegang posisi strategis, jumlahnya masih sangat terbatas.
Pakar Hukum Tata Negara, Titi Anggraini, menekankan pentingnya penguatan peran perempuan dalam lembaga legislatif. Titi mengungkapkan bahwa meskipun ada kemajuan, Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan negara lain dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen.
"Data terbaru dari Inter-Parliamentary Union (IPU) menunjukkan bahwa rata-rata global keterwakilan perempuan di parlemen telah mencapai 26%, sementara Indonesia hanya mampu mencapai 21,9% untuk DPR RI."
"Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat 100 dalam Indeks Kesenjangan Gender Global tahun 2024, turun dari peringkat 87 pada tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya kesempatan ekonomi dan pemberdayaan politik bagi perempuan. Kondisi ini menegaskan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia," ujar Titi.
Pentingnya keterlibatan perempuan dalam posisi strategis di tingkat daerah maupun nasional berpengaruh kepada kebijakan terkait pemberdayaan perempuan terutama dalam administrasi atau kurangnya dukungan dari lembaga terkait. (*)
Baca Juga: Perempuan Karier di Industri Teknologi Masih Jadi Minoritas: Hadapi Tantangan Bias Gender