Beragam Tantangan Indonesia dalam Menghapus Diskriminasi Terhadap Perempuan

David Togatorop - Rabu, 14 Agustus 2024
Penghapusan akan diskriminasi terhadap perempuan masih menghadapi tantangan berat.
Penghapusan akan diskriminasi terhadap perempuan masih menghadapi tantangan berat. (iStock/Siarhei Khaletski)

Parapuan.co - Kasus-kasus diskriminasi terhadap perempuan yang masih marak memerlukan perhatian serius dan kerjasama lintas sektor untuk mencapai kesamaan pandangan dalam penyusunan laporan.

Indonesia, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), telah menerbitkan sejumlah regulasi yang bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) beserta aturan turunannya, serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Seribu Hari Pertama Kehidupan, menjadi langkah penting dalam memutus rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang terkait dengan pelaksanaan UU Nomor 13 Tahun 2023, khususnya pasal 102, menegaskan larangan praktik sunat perempuan.

Pemerintah Indonesia telah memulai dialog konstruktif untuk penyusunan laporan CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) ke-sembilan.

Pemerintah Indonesia wajib secara berkala melaporkan capaian dan tantangan dalam pelaksanaan CEDAW kepada Komite CEDAW sebagai bagian dari komitmen yang diambil saat meratifikasi CEDAW pada 28 Juli 1984 melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984.

CEDAW adalah kesepakatan internasional yang bertujuan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Konvensi ini mendefinisikan prinsip-prinsip Hak Asasi Perempuan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, serta menetapkan norma dan standar yang harus dipenuhi oleh negara untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan.

Indonesia adalah salah satu penandatangan Konvensi ini dan telah meratifikasinya pada 24 Juli 1984 melalui UU RI No. 7 Tahun 1984. Konvensi ini termasuk salah satu dari delapan konvensi hak asasi yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Baca Juga: Mimpi Menteri PPPA Bintang Puspayoga: Raih Kesetaraan Gender di Tengah Budaya Patriarki

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga berharap laporan kepada Komite CEDAW dapat mencerminkan pencapaian spesifik, serta menyoroti praktik baik, inisiatif, dan inovasi yang dapat berkontribusi dalam upaya penghapusan diskriminasi.

Menteri PPPA menyampaikan kemajuan pada tingkat kebijakan, harus dijelaskan arti pentingnya dalam membuka peluang kemajuan-kemajuan selanjutnya.

Kemajuan yang disampaikan berdasarkan data terukur, perlu dijelaskan kebijakan dan program yang mempengaruhi kemajuan tersebut dan apa kontribusi kemajuan itu bagi sektor dan bidang pembangunan lainnya.

Dengan demikian, laporan tidak sebatas paparan data, tetapi juga suatu analisis dampak.

Sementara itu, Head of Programmes UN Women Indonesia, Dwi Yuliawati Faiz, menjelaskan bahwa CEDAW menitikberatkan pada kesetaraan substantif, non-diskriminasi, dan tanggung jawab negara untuk memastikan hak-hak perempuan dihormati dan dilindungi.

Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Adi Winarso, menyampaikan bahwa Indonesia menghadapi tantangan dalam penyusunan laporan.

Tantangan itu berupa kesulitan pengumpulan data, pergantian pejabat, dan sensitivitas data.

Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi dan koordinasi kuat antar kementerian dan lembaga untuk menyusun laporan yang komprehensif dan valid. (*)

Baca Juga: Perjuangan Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Sumber: Kemenpppa
Penulis:
Editor: David Togatorop


REKOMENDASI HARI INI

Peran Perempuan Minim, DPR Refleksi Pemilihan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK 2024-2029