Parapuan.co - Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi isu yang memprihatinkan di Indonesia, dengan data yang ada mencerminkan hanya sebagian kecil dari kasus sebenarnya.
Fenomena ini sering kali digambarkan seperti gunung es, di mana kasus yang terlaporkan hanya merupakan puncaknya.
Banyak korban, pendamping, dan keluarga yang berani melaporkan, tetapi jumlah kasus yang tidak dilaporkan diyakini jauh lebih besar.
Di balik angka-angka tersebut, masih banyak korban yang belum mendapatkan perlindungan dan pemulihan yang memadai, meskipun berbagai kebijakan perlindungan telah disiapkan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam rilis Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 memuat data kekerasan terhadap perempuan selama tahun 2023.
Dalam laporan ini, tercatat sebanyak 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan sekitar 12% dibandingkan tahun sebelumnya, kekerasan di ranah personal tetap mendominasi.
Tingginya kasus kekerasan di dalam rumah tangga, terutama terkait relasi perkawinan dan keluarga, menjadi kontributor utama.
Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengecam keras segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama yang terjadi di lingkungan rumah tangga.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati, menekankan pentingnya keberanian korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami tanpa takut akan stigma dari masyarakat.
Ratna juga memberikan apresiasi kepada seorang mantan atlet anggar yang berani angkat suara terkait kekerasan yang dialaminya dari sang suami.
"Kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai kelompok rentan tidak bisa kita toleransi lagi. Terlebih kekerasan tersebut terjadi di tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman dan dilakukan oleh orang terdekat korban."
Baca Juga: Peran UU TPKS Tangani Kekerasan terhadap Perempuan yang Seperti Fenomena Gunung Es
"Korban harus berani bersuara agar hak-haknya terpenuhi dan pelaku mendapatkan hukuman tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sisi lain, kita sebagai masyarakat dan pemerintah juga harus memberikan dukungan dan pelayanan yang mengedepankan kepentingan korban," ujar Ratna di Jakarta, Rabu (14/8).
Kemen PPPA melalui Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) telah melakukan koordinasi dengan berbagai pihak untuk menangani kasus ini.
Setelah kasus kekerasan dalam rumah tangga ini mencuat, SAPA segera berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Bogor dan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bogor untuk memberikan perlindungan dan pendampingan bagi korban.
Menurut Kemen PPPA P2TP2A Kabupaten Bogor juga telah berkoordinasi dengan pihak kepolisian terkait proses penjangkauan dan visum korban serta anaknya.
Dinas PPPA Kabupaten Bogor saat ini juga tengah mendampingi korban di Polres Bogor dan memberikan dukungan psikologis.
Ratna menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil dan berpihak pada korban, serta mengapresiasi seluruh pihak yang telah bergerak cepat dalam menangani kasus ini.
Masyarakat diajak untuk berani melapor jika melihat, mendengar, atau mengetahui adanya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Laporan bisa disampaikan ke lembaga-lembaga seperti UPTD PPA, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, atau Kepolisian, sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di nomor 129 atau WhatsApp di 08111-129-129. (*)
Baca Juga: Ada KDRT, Ini Alasan Perempuan Sebaiknya Tidak Bertahan dalam Hubungan Toksik demi Anak