Kemen PPPA Rilis Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja

David Togatorop - Selasa, 15 Oktober 2024
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional memetakan salah satunya kekerasan terhadap perempuan.
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional memetakan salah satunya kekerasan terhadap perempuan. iStock/xijian

Parapuan.co - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah merilis hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024.

SPHPN menggunakan metode gabungan analisis kuantitatif dan kualitatif, dilakukan di 38 provinsi Indonesia dengan melibatkan 14.240 rumah tangga yang tersebar di 1.424 blok sensus.

Data hasil survei tahun 2024 ini juga dibandingkan dengan data tahun 2021 dan 2016. Studi kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam dan berkelompok di lima kabupaten/kota, yang menunjukkan peningkatan pengetahuan dan kesadaran tentang kekerasan.

Penurunan kekerasan terhadap perempuan diharapkan terjadi melalui penyebaran informasi, yang sering didapatkan melalui jejaring sosial, pekerjaan, dan media sosial.

SNPHAR 2024, menggunakan desain survei kluster empat tahap, bertujuan mengukur prevalensi kekerasan fisik, emosional, dan seksual terhadap anak di lima wilayah besar Indonesia, yakni Sumatera, Jawa & Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah lainnya.

Survei ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan perlindungan, memperkirakan dampak kekerasan, serta mendokumentasikan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak.

Tantangan utama survei adalah mengungkap pengalaman kekerasan yang dialami perempuan dan anak, yang erat kaitannya dengan masalah budaya, pola pikir, serta stigma di masyarakat.

Para responden, yang sebagian besar adalah korban kekerasan fisik, emosional, seksual, dan praktik berbahaya lainnya, menambah risiko dan sensitivitas survei.

Untuk pelaksanaannya, Kemen PPPA bekerjasama dengan beberapa lembaga, termasuk BPS Pusat untuk pengumpulan data kuantitatif SPHPN, Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) untuk analisis kuantitatif, dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM UI) untuk studi kualitatif. Data SNPHAR dikumpulkan oleh Politeknik Kesejahteraan Sosial Bandung.

Baca Juga: Cara Mendukung Perempuan Korban Kekerasan agar Berani Speak Up

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga, menyampaikan bahwa tingkat respon dari survei ini cukup tinggi, mencapai lebih dari 80%.

Hasil dari SPHPN dan SNPHAR 2024 menunjukkan bahwa target penurunan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 telah tercapai, dengan tren penurunan yang signifikan sejak 2016.

“Survei SPHPN dan SNPHAR adalah survei yang sangat penting karena negara melihat isu kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah isu krusial di masyarakat. Survei dilakukan untuk mendapatkan data prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik di wilayah perkotaan dan pedesaan."

"Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak turun. Hasil dari kedua survei menunjukkan penurunan yang berarti, dilihat dari tren prevalensi yang dimulai tahun 2016,” ucap Menteri PPPA.

Pada tahun 2024, kekerasan emosional menjadi bentuk kekerasan yang paling dominan, di mana 45 dari 100 remaja laki-laki dan perempuan berusia 13-17 tahun mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan emosional sepanjang hidup mereka.

Selama 12 tahun terakhir, 30 dari 100 remaja dalam kelompok usia yang sama mengalami satu atau lebih bentuk kekerasan emosional. Teman sebaya menjadi pelaku utama kekerasan emosional, dengan persentase tertinggi, yaitu 83,44% pada laki-laki dan 85,08% pada perempuan.

Bentuk kekerasan ini meliputi perlakuan dari orangtua seperti merasa tidak layak disayang, dianggap bodoh, dibentak, diancam, atau dianggap sebagai anak yang tidak diharapkan.

Selain itu, kekerasan dari teman sebaya termasuk diskriminasi SARA, gerakan tidak senonoh, stigma fisik, dan bullying terkait kondisi fisik atau ekonomi keluarga.

Baca Juga: 10 Agenda Penghapusan Kekerasan yang Diajukan Komnas Perempuan untuk DPR 2024-2029

Penulis:
Editor: David Togatorop


REKOMENDASI HARI INI

Seberapa Sering Perempuan Perlu Mengganti Pakaian Dalam dan Beli Baru?