Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Inklusi Gender: Penyetaraan Peran Perempuan dalam Artificial Intelligence

Dr. Firman Kurniawan S. Sabtu, 2 November 2024
Pentingnya penyetaraan peran perempuan dalam artificial intelligence (AI).
Pentingnya penyetaraan peran perempuan dalam artificial intelligence (AI). (FotografieLink/Getty Images)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Hari ini, tema persaingan di berbagai belahan dunia makin diwarnai oleh unjuk kefasihan pemanfaatan artificial intelligence (AI). Membicarakan dikotomi manusia versus AI, tak relevan lagi. Keadaan yang benar: “manusia vs manusia yang memanfaatkan AI.

Di tengah riuhnya persaingan itu, perempuan jadi kelompok yang terancam. Ini lantaran struktur dan agen yang terkait AI, tak memihak perempuan. Dominasi laki-laki terlanggengkan. Yang jika keadaannya berlanjut, krisis bakal tercipta. Dunia berjalan timpang. Akibat peran dan tafsir yang tak imbang. Juga yang dilakukan oleh mesin.

Siddhi Pal dan Ruggero Marino Lazzaroni, 2024, dalam “AI's Missing Link: The Gender Gap in the Talent Pool” ~dengan mengutip laporan World Economic Forum (WEF) di tahun yang sama~ menguraikan implikasi ketakseimbangan gender ini. Ketidakseimbangan yang tertangkap lewat pernyataan, hampir 1,6 juta profesional AI di seluruh dunia.

Dilihat dari datanya: hanya 22% dari talenta AI di dunia, yang berjenis kelamin perempuan. Representasi perempuan kian rendah, seiring meningkatnya posisi puncak di perusahaan. Totalnya tak lebih dari 14%, dari seluruh eksekutif senior di bidang AI.

Manakala negara-negara Uni Eropa (UE) telah berhasil menutup 75% kesenjangan gendernya, ~dengan prestasi Swedia dan Jerman sebagai dua di antara lima negara UE teratas yang berhasil menutup kesenjangan gender~ tak demikian keadaannya, saat membicarakan kesenjangan gender di bidang AI. Jerman dan Swedia jadi negara dengan representasi perempuan terendah dalam tenaga kerja AI.  Ini ketika dibandingkan dengan negara-negara UE lainnya. Angkanya masing-masing sebesar 20,3% dan 22,4%, dibanding laki-laki.

Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan serius: hambatan unik apa yang sesungguhnya dihadapi perempuan di bidang AI? Realitas senjang ini, jadi keadaan yang mengkhawatirkan di UE.

Data lain memperkuat realitas kesenjangan gender di atas. Di negara seperti Portugal dan Estonia, pada sektor AI terjadi ketidakseimbangan hingga mencapai 51%. Bahkan Frankfurt yang dikenal sebagai pusat teknologi utama Eropa, indikasinya sangat buruk. Hanya 19% talenta AI, yang berjenis kelamin perempuan. Indikasi buruk itu, diperbaiki oleh Italia. Milan menduduki posisi sebagai pemimpin di antara pusat-pusat AI Eropa. Keberhasilannya mencapai 30,7% profesional AI, berjenis kelamin perempuan.

Kesenjangan gender berujung pada kian memburuknya bias dalam sistem AI. Juga keterbatasan inovasi bersumber gagasan perempuan.

Baca Juga: Penggunaan AI dalam Tren Transformasi Digital di Ranah Pendidikan Indonesia