Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Bias dalam sistem AI berawal di fase input data, untuk keperluan pengembangan machine learning (ML). Ketakseimbangan gender memberi kesempatan pada laki-laki, sebagai penginput utama data. Jumlah laki-laki yang lebih banyak, menjadikan situasi ini tak terelakkan. Data yang diinput, tak sengaja jadi berperspektif laki-laki. Terbawa perspektif penginputnya. Data bias ini, jadi pengisi utama mesin.
Saat ML dilatih tentang profesi misalnya: presiden, panglima tentara, CEO perusahaan, pengacara, teknisi sipil, petugas pemadam kebakaran, pilot, sopir, maupun pekerja tambang, direpresentasikan oleh laki-laki. Sedangkan perempuan, dilekatkan pada pekerjaan yang terkait urusan domestik: pengasuhan anak, pembersih rumah, pemasak, pengajar sekolah, perancang busana, perangkai bunga, pendekorasi pesta, psikolog, kurator seni, food tester. Kalaupun ada pekerjaan yang bersifat publik, terbatas sebagai ahli planologi kota, arsitek taman atau petugas kebun binatang. Padahal dalam realitasnya, seluruh pekerjaan di atas dapat dijalankan laki-laki maupun perempuan.
Machine learning yang dijejali dengan jutaan data konsisten ~namun memuat bias gender~ akan hadir sebagai perangkat yang memahami dunia, namun dalam perspektif yang timpang. Ini analog dengan seorang anak, yang dibesarkan dengan dominasi salah satu gender orang tuanya. Anak akan berkembang jadi personal yang tak seimbang dalam memandang dunia. Dunia dikembangkan hanya sebagai tempat laki-laki atau hanya sebagai tempat perempuan. Alih-alih dibutuhkan kehadiran keduanya, untuk memperoleh dunia yang tenteram.
Ketimpangan cara pandang ini, tak mudah ditemukan jalan keluarnya. Karena asal-usul penyebabnya pun, tak mudah dilacak. Hanya terasa ada yang salah. Keadaan ini yang dihadapi AI hari ini. Membawa bias, saat memberi solusi.
Membahas kesenjangan gender, penyebabnya dapat bersumber struktural maupun agensi. Pada faktor struktural ~ini tak meletakkan manusia berikut perilakunya sebagai penyebab~ fase pengembangan AI bukan satu-satunya tempat dan saat bermulanya kesenjangan gender. Kejadiannya telah dimulai hulu, harus jauh mundur ke belakang. Yaitu ketimpangan gender yang telah jadi realitas dunia, utamanya dalam distribusi peran di berbagai jenis pekerjaan.
Relevan dengan pernyataan di atas, Alexandra Topping, 2022, dalam “Companies with Female Leaders Outperform Those Dominated by Men, Data Shows” memberi ilustrasi penguatnya. Topping mengemukakan uraiannya, dengan mengutip hasil penelitian kesetaraan gender, Equileap. Dijumpai keadaan di Inggris, perempuan hanya mencakup seperlima (20%), dari anggota tim eksekutif. Juga, hanya 13 perusahaan (6%), yang memiliki CEO perempuan. Sementara CFO perempuan hanya dimiliki 27 perusahaan (13%). NatWest merupakan satu-satunya perusahaan yang punya CEO maupun CFO perempuan.
Inggris yang merupakan salah satu representasi negara maju di dunia, ternyata juga merupakan salah satu negara dengan kinerja terburuk dalam penyelengaraan opsi kerja fleksibel. Ini ditunjukkan sebatas 29% perusahaan, yang menerbitkan kebijakan jam kerja fleksibel. Sementara hanya 18% yang menerbitkan kebijakan lokasi fleksibel. Secara struktural, dunia nyata dikuasai laki-laki.
Sedangkan faktor agensi ~manusia beserta perilakunya~ menunjukkan: perempuan itu sendiri nyata jadi penyumbang kesenjangan gender. Keadaan yang justru menimpanya. Kenyataan ini diilustrasikan Aaron Mok, 2023 dalam “The AI Gender Gap: Why Women are More Skeptical About AI than Men”. Dengan mengacu hasil penelitian yang diterbitkan sebuah firma intelijen data, Morning Consult, diperoleh kenyataan: laki-laki lebih nyaman mengadopsi AI daripada perempuan. Sebanyak 44% perempuan menyatakan tidak mungkin meregulasi pengggunaan teknologi, dibanding hanya 23% laki-laki.
Baca Juga: Perempuan Kerja Punya Risiko Lebih Besar Bersaing dengan AI, Kenapa?