Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Kesenjangan tanggapan terhadap AI antara laki-laki dan perempuan ini makin nyata, saat penggunaannya dikaitkan dengan aktivitas pengasuhan. Sebanyak 31% laki-laki mengatakan akan membiarkan anak-anaknya menggunakan chatbot AI untuk tujuan apa pun. Ini termasuk ChatGPT yang dihadirkan OpenAI. Sedangkan hanya 4% perempuan, yang akan melakukan tindakan yang sama.
Lebih tegas, sebanyak 53% perempuan akan melarang anak-anaknya menggunakan AI sama sekali. Ini jika dibanding laki-laki, yang hanya sebesar 26%. Total sampel yang digunakan dalam survey tersebut, sebesar 2.203 orang dewasa Amerika Serikat, dalam konteks pemahaman perasaan orang Amerika dari berbagai demografi, tentang AI.
Atas temuan itu Mok menguraikan, nampaknya laki-laki lebih nyaman mengadopsi AI dibanding perempuan. Perempuan lebih banyak memiliki kekhawatiran terhadap penggunaan AI. Temuan awal Mok ini, memperoleh penjelasan yang argumentatif, berdasar uraian MaryLou Costa, 2023, dalam "Why are Fewer Women Using AI than Men?”.
Dijelaskannya, dalam proses pengembangan AI dibutuhkan keterampilan yang berakar pada didiplin STEM, science, tech, engineering & math. Sementara di Inggris, hanya 24% tenaga kerja di bidang STEM, adalah perempuan. Kesenjangan gender di bidang STEM, nyata adanya. Seluruhnya memunculkan keadaan: AI yang dikembangkan, tak akrab bagi perempuan. Perempuan mempersepsi, AI bukan untuknya. Jika pun terpaksa menggunakannya, perempuan kurang percaya diri di hadapan perangkat AI.
Dalam keadaan tak ada tuntutan dimilikinya kecakapan teknis pun, perempuan tetap merasa tak nyaman dengan co-pilot AI ini. AI terasa seperti mesin dalam kisah fiksi ilmiah. Sementara di dunia media maupun budaya populer, fiksi ilmiah cenderung dipasarkan pada konsumen laki-laki.
Aspek struktural yang kemudian mempengaruhi sentimen agensi ini, jadi penjelas kesenjangan gender di dunia yang makin intesif menggunakan AI. Hubungannya seperti sirkuit yang tak putus: struktural mempengaruhi agensi, untuk kemudian agensi membentuk stuktur yang melanggengkan kesenjangan.
Persoalannya belum berhenti. Pekerjaan masa depan yang cepat digantikan AI, kebanyakan pekerjaan perempuan. Editor naskah, desain grafis, penulisan artikel. Juga aktivitas yang bersifat klerikal administratif, seperti perencanaan konten. Sedangkan yang bersifat domestik: pemastian gizi dan kesehatan keluarga, kebersihan rumah dan lingkungan, penyediaan energi, seluruhnya jadi proyek awal pengembangan AI.
Ini artinya, AI yang pesat dikembangkan hari ini, terlebih dulu menggusur perempuan dari pekerjaannya. Tanpa adanya inklusi gender yang dijalankan sistematis, perempuan yang terlebih dulu jadi korban artificial intelligence.
Tak ingin seperti itu kan? Inklusi gender jadi keniscayaannya.
(*)
Baca Juga: CEO Grant Thornton Indonesia Ungkap Peran Perempuan Meningkatkan Performa Perusahaan