Parapuan.co - Kawan Puan, beberapa hari belakangan media sosial dan internet membahas tentang pernyataan Prilly Latuconsina tentang perempuan independen.
Dalam sebuah video seperti dilansir Kompas.com, Prilly Latuconsina menyebut bahwa perempuan mandiri semakin banyak, tetapi laki-laki mapan makin sedikit.
"Banyak wanita independent tetapi pria mapan dikit. Itu data valid, lho," papar Prilly dalam video terkait.
Rupanya, tingkat kemandirian perempuan seperti disampaikan Prilly di atas memang ada datanya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah perempuan yang bekerja sebagai tenaga profesional hampir menyamai jumlah laki-laki bekerja.
Per tahun 2023, presentase tenaga kerja laki-laki adalah 44,19 persen, sementara perempuan 35,75 persen.
Seorang Pengamat Psikososial dan Budaya, Endang Mariani juga menilai ada fenomena di mana presentase perempuan yang mandiri atau independen bertambah.
Menurutnya, hal ini mencerminkan fase perkembangan perempuan dewasa muda yang memilih mengejar karier dan kemandirian pribadi, sebelum menjalin hubungan romantis.
"Banyak perempuan kini lebih fokus pada pengembangan karier dan identitas pribadi (otonomi) sebelum memprioritaskan hubungan," terang Endang Mariani mengutip Kompas.com.
Baca Juga: Simak! Ini 6 Karakter Perempuan Independen, Tak Hanya Mandiri dan Kuat
"Budaya patriarki di Indonesia sebelumnya menempatkan laki-laki sebagai penyedia utama (breadwinner), namun kini perempuan telah masuk ke ranah ini, menciptakan tantangan baru dalam harapan terhadap pasangan," imbuhnya.
Lantas, apakah kemandirian perempuan merupakan motivasi atau justru menjadi ancaman bagi laki-laki? Jawabannya, 50:50. Bisa iya, bisa tidak.
Respons dari Laki-Laki
Video viral Prilly yang berbicara mengenai perempuan independen tidak hanya dikomentari oleh laki-laki yang tidak terima, tapi juga mereka yang menerima faktanya.
Ada tipe laki-laki yang merasa wajar jika perempuan ingin berpasangan dengan laki-laki yang lebih mapan darinya.
Pasalnya untuk berada di posisi/jabatan kerja yang sama, perempuan sering kali melalui perjalanan yang lebih sulit dibandingkan laki-laki. Coba pahami apa yang disampaikan pengguna TikTok @zahidibr berikut:
@zahidibr Prilly Latuconsina membuat komentar tentang menurunnya angka pernikahan karena banyaknya wanita yang semakin independent sedangkan laki-laki yang mapan jumlahnya tidak seberapa. Buatku kontroversial hal ini adalah sesuatu yang bagus karena kita jadi dapat mendiskusikan dan mempertanyakan pemahaman-pemahaman yang secara tradisional tertanam di masyarakat kita.
♬ Clair de lune/Debussy - もつ
Di sisi lain, banyak laki-laki merasa terintimidasi dengan keberhasilan perempuan yang mandiri.
Hal ini sering berkaitan dengan ekspektasi tradisional bahwa laki-laki harus menjadi pihak yang lebih dominan, terutama dalam hal finansial.
Stigma sosial ini dapat menciptakan ketegangan, bahkan memperbesar kesenjangan dalam hubungan romantis.
Baca Juga: Ini 3 Indikator yang Menandakan Perempuan Mandiri Finansial, Apa Kamu Sudah Mencapainya?
Namun, di balik ketidaknyamanan ini, terdapat peluang untuk menciptakan hubungan yang lebih setara.
Laki-laki yang progresif melihat kemandirian perempuan sebagai inspirasi untuk berkembang bersama, bukan sebagai ancaman.
Solusi dan Peluang
Menghadapi dinamika ini, pendidikan gender menjadi sangat penting untuk mengurangi stereotip yang membatasi.
Dengan lebih banyak dialog terbuka, masyarakat dapat memahami bahwa kemandirian perempuan tidak mengancam peran laki-laki.
Akan tetapi, ini justru mampu memperkaya hubungan dengan keadilan dan rasa saling menghormati.
Peningkatan jumlah perempuan mandiri mencerminkan transformasi sosial yang positif.
Tantangan bagi laki-laki adalah mengubah perspektif mereka untuk melihat hal ini sebagai inspirasi untuk tumbuh, bukan sebagai kompetisi.
Sedangkan untuk perempuan, jadikan kemandirianmu sebagai kemampuan di mana kamu bisa mendukung pasangan untuk saling bertumbuh bersama.
Terlepas dari jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan, semakin "tinggi" value seseorang maka kualitas pribadi dan pemikirannya semakin baik.
Baca Juga: Menghapus Stereotip Gender di Rumah Tangga: Siapa Bilang Ibu Harus Selalu Memasak?
(*)