Parapuan.co - Kita seringkali fokus pada keberagaman gender, namun jarang membahas interseksi antara gender dan disabilitas.
Perempuan dengan disabilitas menghadapi bentuk diskriminasi ganda yang membuat mereka semakin rentan terhadap kekerasan.
Bayangkan hidup dalam keterbatasan, lalu dihadapkan pada ketakutan dan ancaman setiap hari.
Inilah realitas yang dihadapi banyak perempuan dengan disabilitas, yang masih harus menghadapi kerentanan terhadap kekerasan.
Kekerasan yang mereka alami bukan sekadar statistik, melainkan luka mendalam yang menghancurkan martabat dan masa depan mereka.
Hal tersebut seperti disampaikan oleh Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan dan aktivis disabilitas, dalam acara mini talkshow bertajuk Ending Gender Based Violence (GBV) Talks yang diadakan Kedutaan Besar Inggris Jakarta, bekerja sama dengan Komnas Perempuan (2/12/2024)
"Berdasarkan CATAHU 2023 Komnas Perempuan, ada 288.111 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan. Dan yang paling besar menurut data ini adalah kekerasan di ranah domestik, yang mana dalam hal ini sering kali disebut kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)," tutur laki-laki yang akrab dipanggil Cak Fu.
Dari data tersebut diketahui, bahwa jenis kekerasan yang kerap terjadi pada perempuan adalah kekerasan psikologis, fisik, seksual dan ekonomi.
"Umumnya korban mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Kalau dia mengalami kekerasan fisik, bisa jadi dia juga mengalami kekerasan psikis. Kalau mereka mengalami kekerasan seksual, bisa jadi dia juga mengalami kekerasan fisik dan psikis," ujar Cak Fu.
Baca Juga: 5 Fakta Mencengangkan tentang Pembunuhan Perempuan di Seluruh Dunia
Makanya di Komnas Perempuan mencatat bahwa satu korban bisa jadi mengalami tiga bentuk kekerasan sekaligus.
Ironisnya lagi, perempuan disabilitas menjadi golongan paling rentan di antara yang paling rentan menjadi korban kekerasan.
Nahasnya lagi, perempuan dengan disabilitas bukan hanya rentan menjadi korban kekerasan, tetapi juga mengalami ketidakadilan ketika masuk dalam proses penanganan.
"Aparat penegak hukum sering kali bilang, 'ini kesaksiannya bisa dipercaya enggak?'. Jadi merek (penegak hukum) ragu dengan testimoni korban kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual," cerita Cak Fu yang kerap membantu advokasi.
Contoh lain, korban kekerasan terhadap perempuan dengan tuna netra kerap mengalami pertanyaan dari penegak hukum yang tidak sensitif.
"Misalnya ditanya 'kamu bisa enggak memberikan ciri-ciri dari pelaku?'. Sementara korban kan tidak bisa mengenali pelakunya bagaimana. Ini kan tidak sensitif," kritiknya lagi.
Terlebih lagi, jika korban kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas netra tidak bisa memberikan ciri-ciri, maka pengaduannya rentan tidak dilanjutkan oleh kepolisian dengan alasan alat bukti tidak cukup.
"Belum lagi kalau nanti korbannya adalah disabilitas tuli. Aparat penegak hukum masih banyak yang tidak melengkapi fasilitas untuk juru bahasa isyarat, yang sebenarnya itu bisa diakomodir oleh polisi," tutur Cak Fu lagi.
Baca Juga: 5 Langkah Utama Cegah Diskriminasi terhadap Perempuan Difabel
Oleh karena itu, sering kali komunikasi tidak lancar, yang menyebabkan penegak hukum beralasan alat buktinya tidak cukup, sehingga kasusnya tidak bisa diproses lebih lanjut.
"Ini hambatan yang kerap terjadi ketika terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas," ujarnya.
Perempuan dengan disabilitas, kelompok yang rentan, seringkali menjadi korban kekerasan yang tak terhitung.
Kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas adalah kejahatan kemanusiaan yang tak bisa ditoleransi.
Suara mereka teredam, kisah mereka terlupakan. Sudah terlalu lama mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Kita tidak bisa tinggal diam. Sudah saatnya kita membuka mata dan telinga, mendengarkan jeritan hati mereka. Bersatu, angkat suara, dan tuntut keadilan bagi mereka.
(*)